KITAB NEGARA KERTAGAMA
Pupuh XVIII- XLIII
Pupuh XVIII
1.
Seberangkat Sri
Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak, Sepanjang jalan penuh kereta,
penumpangnya duduk berimpit-impit, Pedati di muka dan di belakang, di tengah
prajurit berjalan kaki, Berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah
dan kuda.
2.
Tak terhingga jumlah
kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya, Meleret berkelompok-kelompok, karena
tiap ment’ri lain lambangnya, Rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang
kerajaan, Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda.
3.
Segala kereta
Sri Nata Pajang semua bergambar matahari, Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar
cemerlang banteng putih, Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma mas
mengkilat, Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian.
4.
Kereta Sri Nata
Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah maja, Beratap kain geringsing, berhias
lukisan mas, bersinar merah indah, Semua pegawai, parameswari raja dan juga
rani Sri Sudewi, Ringkasnya para wanita berkereta merah, berjalan paling muka.
5.
Kereta Sri Nata
berhias mas dan ratna manikam paling belakang, Jempana-jempana lainnya bercadar
beledu, meluap gemerlap, Rapat rampak prajurit pengiring Janggala Kediri,
Panglarang, Sedah, Bhayangkari gem’ruduk berbondong-bondong naik gajah dan
kuda.
6.
Pagi-pagi telah
tiba di Pancuran Mungkur; Sri Nata ingin rehat, Sang rakawi menyidat jalan,
menuju Sawungan mengunjungi akrab, Larut matahari berangkat lagi tepat waktu
Sri Baginda lalu, Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung.
7.
Dukuh sepi
kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang, Berbeda-beda namanya
Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung, Tak terlupakan Ermanik, dukuh
teguh-taat kepada Yanatraya, Puas sang dharmadhyaksa mencicipi aneka jamuan
makan dan minum.
8.
Sampai di
Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda Nata, Hari mulai teduh,
surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam, Baginda memberi perintah
memasang tenda di tengah-tengah sawah, Sudah siap habis makan, cepat-cepat
mulai membagi-bagi tempat.
Pupuh XIX
1.
Paginya
berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam, Dari Baya melalui
Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes,Times, Serta biara pendeta di Pogara
mengikut jalan pasir lemah-lembut, Menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta
masih terus lari.
2.
Tersebut dukuh
kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah, Tanahnya anugerah Sri Baginda
kepada Gajah Mada, teratur rapi, Di situlah Baginda menempati pasanggrahan yang
terhias sangat bergas, Sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan
mandi-bakti.
Pupuh XX
1.
Sampai di desa
kasogatan Baginda dijamu makan minum, Pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya,
Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, We
Petang, Yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
2.
Begitu pula
desa Tunggilis, Pabayeman ikut berkumpul, Termasuk Ratnapangkaja di Carcan,
berupa desa perdikan, Itulah empat belas desa kasogatan yang berakuwu, Sejak
dahulu delapan saja yang menghasilkan bahan makanan.
Pupuh XXI
1.
Fajar
menyingsing; berangkat lagi Baginda melalui, Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah,
Bare-bare, Dawohan, Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran, Kereta
berjalan cepat-cepat menuju Pawijungan.
2.
Menuruni lurah,
melintasi sawah, lari menuju, Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan,
Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang, Sampai di Kemirahan yang
letaknya di pantai lautan.
Pupuh XXII
1.
Di Dampar dan
Patunjungan Sri Baginda bercengkerma menyisir tepi lautan, Ke jurusan timur
turut pasisir datar, lembut-limbur dilintas kereta, Berhenti beliau di tepi
danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga, Asyik memandang udang berenang
dalam air tenang memperlihatkan dasarnya.
2.
Terlangkahi
keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan, Danau ditinggalkan,
menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan, Kasogatan Bajraka termasuk
wilayah Taladwaja sejak dulu kala, Seperti juga Patunjungan, akibat perang,
belum kembali ke asrama.
3.
Terlintas
tempat tersebut, ke timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan, Berhenti di
Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut, Menyeberangi sungai
Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut, Menuruni lurah Balater menuju
pantai lautan, lalu bermalam lagi.
4.
Pada waktu
fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam, Malam berganti
malam Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan, Sepeninggalnya beliau menjelang
kota Bacok bersenang-senang di pantai, Heran memandang karang tersiram riak
gelombang berpancar seperti Hujan.
5.
Tapi sang
rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan, Dari Sadeng ke
utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet, Galagah, Tampaling,
beristirahat di Renes seraya menanti Baginda, Segera berjumpa lagi dalam
perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya.
Pupuh XXIII
1.
Melalui Doni
Bontong, Puruhan, Bacek, Pakisaji, Padangan terus ke Secang, Terlintas Jati
Gumelar, Silabango, Ke utara ke Dewa Rame dan Dukun.
2.
Lalu berangkat
lagi ke Pakembangan, Di situ bermalam; segera berangkat, Sampailah beliau ke
ujung lurah daya, Yang segera dituruni sampai jurang.
3.
Dari pantai ke
utara sepanjang jalan, Sangat sempit, sukar amat dijalani, Lumutnya licin
akibat kena hujan, Banyak kereta rusak sebab berlanggar.
Pupuh XXIV
1.
Terlalu lancar
lari kereta melintas Palayangan, Dan Bangkong, dua desa tanpa cerita, terus
menuju, Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat, Lainnya bergegas
berebut jalan menuju Surabasa.
2.
Terpalang
matahari terbenam berhenti di padang lalang, Senja pun turun, sapi lelah
dilepas dari pasangan, Perjalanan membelok ke utara melintas Turayan,
Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan.
Pupuh XXV
1.
Panjang lamun
dikisahkan kelakuan para ment’ri dan abdi, Beramai-ramai Baginda telah sampai
di desa Patukangan, Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di barat
Talakrep, Sebelah utara pakuwuan pasanggrahan Baginda Nata.
2.
Semua menteri,
mancanagara hadir di pakuwuan, Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut
menghadap, Para Upapati yang tanpa cela, para pembesar agama, Panji Siwa dan
Panji Buda, faham hukum dan putus sastera.
Pupuh XXVI
1.
Sang adipati
Suradikara memimpin upacara sambutan, Diikuti segenap penduduk daerah wilayah
Patukangan, Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain, Girang
rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan.
2.
Untuk pemandangan
ada rumah dari ujung memanjang ke lautan, Aneka bentuknya, rakit halamannya,
dari jauh bagai pulau, Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh
ombak, Itulah buatan sang arya bagai persiapan menyambut raja.
Pupuh XXVII
1.
Untuk mengurangi
sumuk akibat teriknya matahari, Baginda mendekati permaisuri seperti dewa-dewi,
Para puteri laksana apsari turun dari kahyangan, Hilangnya keganjilan berganti
pandang penuh heran-cengang.
2.
Berbagai-bagai
permainan diadakan demi kesukaan, Berbuat segala apa yang membuat gembira
penduduk, Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum, Sungguh
beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.
Pupuh XXVIII
1.
Selama
kunjungan di desa Patukangan, Para menteri dari Bali dan Madura, Dari
Balumbung, kepercayaan Baginda, Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul.
2.
Persembahan
bulu bekti bertumpah-limpah, Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing, Bahan
kain yang diterima bertumpuk timbun, Para penonton tercengang-cengang,
memandang.
3.
Tersebut
keesokan hari pagi-pagi, Baginda keluar di tengah-tengah rakyat, Diiringi para
kawi serta pujangga, Menabur harta, membuat gembira rakyat.
Pupuh XXIX
1.
Hanya pujangga
yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama, Berkabung kehilangan kawan kawi-Buda
Panji Kertayasa, Teman bersuka-ria, teman karib dalam upacara ‘gama, Beliau
dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah.
2.
Kusangka tetap
sehat, sanggup mengantar aku ke mana juga, Beliau tahu tempat-tempat mana yang
layak pantas dilihat, Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah,
Namun, mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga.
3.
Itulah
lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta, Meliwati Tal Tunggal,
Halalang-panjang, Pacaran dan Bungatan, Sampai Toya Rungun, Walanding, terus
Terapas, lalu bermalam, Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta.
Pupuh XXX
1.
Tersebut
perjalanan Sri Narapati ke arah barat, Segera sampai Keta dan tinggal di sana
lima hari, Girang beliau melihat lautan, memandang balai kambang, Tidak lupa
menghirup kesenangan lain sehingga puas.
2.
Atas perintah
sang arya semua menteri menghadap, Wiraprana bagai kepala, upapati Siwa-Buda,
Mengalir rakyat yang datang sukarela tanpa diundang, Mambawa bahan santapan,
girang menerima balasan.
Pupuh XXXI
1.
Keta t’lah
ditinggalkan. Jumlah pengiring malah bertambah, Melintasi Banyu Hening,
perjalanan sampai Sampora, Terus ke Daleman menuju Wawaru, Gebang, Krebilan,
Sampai di Kalayu Baginda berhenti ingin menyekar.
2.
Kalayu adalah
nama desa perdikan kasogatan, Tempat candi makam sanak kadang Baginda raja,
Penyekaran di makam dilakukan dengan sangat hormat, “Memegat sigi” nama upacara
penyekaran itu.
3.
Upacara
berlangsung menepati segenap aturan, Mulai dengan jamuan makan meriah tanpa
upama, Para patih mengarak Sri Baginda menuju paseban, Genderang dan kendang
bergetar mengikuti gerak tandak.
4.
Habis
penyekaran raja menghirup segala kesukaan, Mengunjungi desa-desa di sekitarnya
genap lengkap, Beberapa malam lamanya berlumba dalam kesukaan, Memeluk wanita
cantik dan meriba gadis remaja.
5.
Kalayu
ditinggalkan, perjalanan menuju Kutugan, Melalui Kebon Agung, sampai
Kambangrawi bermalam, Tanah anugerah Sri Nata kepada Tumenggung Nala, Candinya
Buda menjulang tinggi, sangat elok bentuknya.
6.
Perjamuan
Tumenggung Empu Nala jauh dari cela, Tidak diuraikan betapa rahap Baginda Nata
bersantap, Paginya berangkat lagi ke Halses, B’rurang, Patunjungan, Terus
langsung melintasi Patentanan, tarub dan Lesan.
Pupuh XXXII
1.
Segera Sri
Baginda sampai di Pajarakan, di sana bermalam pat hari, Di tanah lapang sebelah
selatan candi Buda beliau memasang tenda, Dipimpin Arya Sujanottama para mantri
dan pendeta datang menghadap, Menghaturkan pacitan dan santapan, girang
menerima anugerah uang.
2.
Berangkat dari
situ Sri Baginda menuju asrama di rimba Sagara, Mendaki bukit-bukit ke arah
selatan dan melintasi terusan Buluh, Melalui wilayah Gede, sebentar lagi sampai
di asrama Sagara, Letaknya gaib ajaib di tengah-tengah hutan membangkitkan rasa
kagum rindu.
3.
Sang pujangga
Prapanca yang memang senang bermenung tidak selalu menghadap, Girang melancong
ke taman melepaskan lelah melupakan segala duka, Rela melalaikan paseban
mengabaikan tata tertib para pendeta, Memburu nafsu menjelajah rumah
berbanjar-banjar dalam deretan berjajar.
4.
Tiba di taman
bertingkat, di tepi pesanggrahan tempat bunga tumbuh lebat, Suka cita Prapanca
membaca cacahan (pahatan) dengan slokanya di dalam cita, Di atas tiap atap
terpahat ucapan seloka yang disertai nama, Pancaksara pada penghabisan tempat
terpahat samara-samar, menggirangkan.
5.
Pemandiannya
penuh lukisan dongengan berpagar batu gosok tinggi, Berhamburan bunga
nagakusuma di halaman yang dilingkungi selokan, Andung, karawira, kayu mas,
menur serta kayu puring dan lain-lainnya, Kelapa gading kuning rendah menguntai
di sudut mengharu-rindu pandangan.
6.
Tiada sampailah
kata meraih keindahan asrama yang gaib dan ajaib, Beratapkan hijuk, dari dalam
dan luar berkesan kerasnya tata tertib, Semua para pertapa, wanita dan priya,
tua-muda, nampaknya bijak, Luput dari cela dan klesa, seolah-olah Siwapada di
atas dunia.
Pupuh XXXIII
1.
Habis
berkeliling asrama, Baginda lalu dijamu, Para pendeta pertapa yang ucapannya
sedap-resap, Segala santapan yang tersedia dalam pertapaan, Baginda membalas
harta, membuat mereka gembira.
2.
Dalam pertukaran
kata tentang arti kependetaan, Mereka mencurahkan isi hati, tiada tertahan,
Akhirnya cengkerma ke taman penuh dengan kesukaan, Kegirang-girangan para
pendeta tercengang memandang.
3.
Habis kesukaan
memberi isyarat akan berangkat, Pandang sayang yang ditingggal mengikuti
langkah yang pergi, Bahkan yang masih remaja puteri sengaja merenung, Batinnya:
dewa asmara turun untuk datang menggoda.
Pupuh XXXIV
1.
Baginda
berangkat, asrama tinggal berkabung, Bambu menutup mata sedih melepas selubung,
Sirih menangis merintih, ayam roga menjerit, Tiung mengeluh sedih, menitikkan
air matanya.
2.
Kereta lari
cepat, karena jalan menurun, Melintasi rumah dan sawah di tepi jalan, Segera
sampai Arya, menginap satu malam, Paginya ke utara menuju desa Ganding.
3.
Para ment’ri
mancanegara dikepalai, Singadikara, serta pendeta Siwa-Buda, Membawa santapan
sedap dengan upacara, Gembira dibalas Baginda dengan mas dan kain.
4.
Agak lama
berhenti seraya istirahat, Mengunjungi para penduduk segenap desa, Kemudian
menuju Sungai Gawe, Sumanding, Borang, Banger, Baremi lalu lurus ke barat.
Pupuh XXXV
1.
Sampai Pasuruan
menyimpang jalan ke selatan menuju Kepanjangan, Menganut jalan raya kereta lari
beriring-iring ke Andoh Wawang, Ke Kedung Peluk dan ke Hambal, desa penghabisan
dalam ingatan, Segera Baginda menuju kota Singasari bermalam di balai kota.
2.
Prapanca
tinggal di sebelah barat Pasuruan ingin terus melancong, Menuju asrama
Indarbaru yang letaknya di daerah desa Hujung, Berkunjung di rumah pengawasnya,
menanyakan perkara tanah asrama, Lempengan piagam pengukuh diperlihatkan, jelas
setelah dibaca.
3.
Isi piagam:
tanah datar serta lembah dan gunungnya milik wihara, Begitu pula sebagian
Markaman, ladang Balunghura, sawah Hujung, Isi piagam membujuk sang pujangga
untuk tinggal jauh dari pura, Bila telah habis kerja di pura, ingin ia
menyingkir ke Indarbaru.
4.
Sebabnya
terburu-buru berangkat setelah dijamu bapa asrama, Karena ingat akan giliran
menghadap di balai Singasari, Habis menyekar di candi makam, Baginda mengumbar
nafsu kesukaan, Menghirup sari pemandangan di Kedung Biru, Kasurangganan dan
Bureng.
Pupuh XXXVI
1.
Pada subakala
Baginda berangkat ke selatan menuju Kagenengan, Akan berbakti kepada makam
batara bersama segala pengiringnya, Harta, perlengkapan, makanan, dan bunga
mengikuti jalannya kendaraan, Didahului kibaran bendera, disambut sorak-sorai
dari penonton.
2.
Habis
penyekaran, narapati keluar, dikerumuni segenap rakyat, Pendeta Siwa-Buda dan
para bangsawan berderet leret di sisi beliau, Tidak diceritakan betapa rahap
Baginda bersantap sehingga puas, Segenap rakyat girang menerima anugerah bahan
pakaian yang indah.
Pupuh XXXVII
1.
Tersebut
keindahan candi makam, bentuknya tiada bertara, Pintu masuk terlalu lebar lagi
tinggi, bersabuk dari luar, Di dalam terbentang halaman dengan rumah berderet
di tepinya, Ditanami aneka ragam bunga, tanjung, nagasari ajaib.
2.
Menara lampai
menjulang tinggi di tengah-tengah, terlalu indah, Seperti gunung Meru, dengan
arca batara Siwa di dalamnya, Karena Girinata putera disembah bagai dewa
batara, Datu-leluhur Sri Naranata yang disembah di seluruh dunia.
3.
Sebelah selatan
candi makam ada candi sunyi terbengkalai, Tembok serta pintunya yang masih
berdiri, berciri kasogatan, Lantai di dalam, hilang kakinya bagian barat,
tingggal yang timur, Sanggar dan pemujaan yang utuh, bertembok tinggi dari batu
merah.
4.
Di sebelah
utara, tanah bekas kaki rumah sudahlah rata, Terpencar tanamannya nagapuspa
serta salaga di halaman, Di luar gapura pabaktan luhur, tapi telah longsor
tanahnya, Halamannya luas tertutup rumput, jalannya penuh dengan lumut.
5.
Laksana
perempuan sakit merana lukisannya lesu-pucat, Berhamburan daun cemara yang
ditempuh angin, kusut bergelung, Kelapa gading melulur tapasnya, pinang letih
lusuh merayu, Buluh gading melepas kainnya, layu merana tak ada hentinya.
6.
Sedih mata yang
memandang, tak berdaya untuk menyembuhkan, Kecuali Hayam Wuruk sumber hidup
segala makhluk, Beliau mashur bagai raja utama, bijak memperbaiki jagad,
Pengasih bagi
yang menderita sedih, sungguh titisan batara.
7.
Tersebut lagi,
paginya Baginda berkunjung ke candi Kidal, Sesudah menyembah batara, larut hari
berangkat ke Jajago, Habis menghadap arca Jina, beliau berangkat ke penginapan,
Paginya menuju Singasari, belum lelah telah sampai Bureng.
Pupuh XXXVIII
1.
Keindahan
Bureng: telaga tergumpal airnya jernih, Kebiru-biruan, di tengah: candi karang
bermekala, Tepinya rumah berderet, penuh pelbagai ragam bunga, Tujuan para
pelancong penyerap sari kesenangan.
2.
Terlewati
keindahannya; berganti cerita narpati, Setelah reda terik matahari, melintas
tegal tinggi, Rumputnya tebal rata, hijau mengkilat, indah terpandang, Luas
terlihat laksana lautan kecil berombak jurang.
3.
Seraya
berkeliling kereta lari tergesa-gesa, Menuju Singasari, segera masuk ke
pesanggrahan, Sang pujangga singgah di rumah pendeta Buda, sarjana, Pengawas
candi dan silsilah raja, pantas dikunjungi.
4.
Telah lanjut
umurnya, jauh melintasi seribu bulan, Setia, sopan, darah luhur, keluarga raja
dan mashur, Meski sempurna dalam karya, jauh dari tingkah tekebur, Terpuji
pekerjaannya, pantas ditiru k’insafannya.
5.
Tamu mendadak
diterima dengan girang dan ditegur: “Wahai, orang bahagia, pujangga besar
pengiring raja Pelindung dan pengasih keluarga yang mengharap kasih Jamuan apa
yang layak bagi paduka dan tersedia?”
6.
Maksud
kedatangannya: ingin tahu sejarah leluhur, Para raja yang dicandikan, masih
selalu dihadap, Ceriterakanlah mulai dengan Batara Kagenengan, Ceriterakan
sejarahnya jadi put’ra Girinata.
Pupuh XXXIX
1.
Paduka Empuku
menjawab: “Rakawi, Maksud paduka sungguh merayu hati, Sungguh paduka pujangga
lepas budi, Tak putus menambah ilmu, mahkota hidup.
2.
Izinkan saya
akan segera mulai: Cita disucikan dengan air sendang tujuh, Terpuji Siwa!
Terpuji Girinata! Semoga terhindar aral, waktu bertutur.
3.
Semoga rakawi
bersifat pengampun, Di antara kata mungkin terselib salah,
Harap percaya
kepada orang tua, Kurang atau lebih janganlah dicela.
Pupuh XL
1.
Pada tahun Saka
lautan dasa bulan (1104) ada raja perwira yuda, Putera Girinata, konon kabarnya,
lahir di dunia tanpa ibu, Semua orang tunduk, sujud menyembah kaki bagai tanda
bakti, Ranggah Rajasa nama beliau, penggempur musuh pahlawan bijak.
2.
Daerah luas
sebelah timur gunung Kawi terkenal subur makmur, Di situlah tempat putera sang
Girinata menunaikan darmanya, Menggirangkan budiman, menyirnakan penjahat,
meneguhkan negara, Ibu negara bernama Kutaraja, penduduknya sangat terganggu.
3.
Tahun Saka
lautan dadu Siwa (1144) beliau melawan raja Kediri, Sang adiperwira Kretajaya,
putus sastra serta tatwopadesa, Kalah, ketakutan, melarikan diri ke dalam biara
terpencil, Semua pengawal dan perwira tentara yang tinggal, mati terbunuh.
4.
Setelah kalah
narapati Kediri, Jawa di dalam ketakutan, Semua raja datang menyembah membawa
tanda bakti hasil tanah, Bersatu Janggala Kediri di bawah kuasa satu raja
sakti,
Cikal bakal
para raja agung yang akan memerintah pulau Jawa.
5.
Makin bertambah
besar kuasa dan megah putera sang Girinata, Terjamin keselamatan pulau Jawa
selama menyembah kakinya, Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke
Siwa pada, Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usana bagai Buda.
Pupuh XLI
1.
Batara
Anusapati, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan, Selama pemerintahannya,
tanah Jawa kokoh sentosa, bersembah bakti, Tahun Saka perhiasan gunung Sambu
(1170) beliau pulang ke Siwaloka, Cahaya beliau diujudkan arca Siwa gemilang di
candi makam Kidal.
2.
Batara
Wisnuwardana, putera Baginda, berganti dalam kekuasaan, Beserta Narasinga bagai
Madawa dengan Indra memerintah negara, Beliau memusnahkan perusuh Linggapati
serta segenap pengikutnya, Takut semua musuh kepada beliau, sungguh titisan
Siwa di bumi.
3.
Tahun Saka rasa
gunung bulan (1176) Batara Wisnu menobatkan puteranya, Segenap rakyat Kediri
Janggala berduyun-duyun ke pura mangastubagia, Raja Kertanagara nama
gelarannya, tetap demikian seterusnya, Daerah Kutaraja bertambah makmur,
berganti nama praja Singasari.
4.
Tahun Saka awan
sembilan mengebumikan tanah (1192) raja Wisnu berpulang, Dicandikan di Waleri
berlambang arca Siwa, di Jajago arca Buda, Sementara itu Batara Narasingamurti
pun pulang ke Surapada, Dicandikan di Wengker, di Kumeper diarcakan bagai Siwa
mahadewa.
5.
Tersebut Sri
Baginda Kertanagara membinasakan perusuh, penjahat, Bersama Cayaraja, musnah
pada tahun Saka naga mengalahkan bulan (1192), Tahun Saka muda bermuka rupa
(1197) Baginda menyuruh tundukkkan Melayu, Berharap Melayu takut kedewaan
beliau, tunduk begitu sahaja.
Pupuh XLII
1.
Tahun Saka
janma sunyi surya (1202) Baginda raja memberantas penjahat, Mahisa Rangga,
karena jahat tingkahnya dibenci seluruh negara, Tahun Saka badan langit surya
(1206) mengirim utusan menghancurkan Bali, Setelah kalah rajanya menghadap
Baginda sebagai orang tawanan.
2.
Begitulah dari
empat jurusan orang lari berlindung di bawah Baginda, Seluruh Pahang, segenap
Melayu tunduk menekur di hadapan beliau, Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari
mencari perlindungan, Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang
setanah Jawa.
3.
Jauh dari
tingkah alpa dan congkak, Baginda waspada tawakal dan bijak, Faham akan segala
seluk beluk pemerintahan sejak zaman Kali, Karenanya tawakal dalam agama dan
tapa untuk teguhnya ajaran Buda, Menganut jejak para leluhur demi keselamatan
seluruh praja.
Pupuh XLIII
1.
Menurut kabaran
sastra raja Pandawa memerintah sejak zaman Dwapara, Tahun Saka lembu gunung
indu tiga (3179) beliau pulang ke Budaloka, Sepeninggalnya datang zaman Kali,
dunia murka, timbul huru hara, Hanya batara raja yang faham dalam nam guna,
dapat menjaga Jagad.
2.
Itulah sebabnya
Baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni, Teguh tawakal memegang pancasila,
laku utama, upacara suci, Gelaran Jina beliau yang sangat mashur yalah Sri
Jnyanabadreswara, Putus dalam filsafat, ilmu bahasa dan lain pengetahuan agama.
3.
Berlumba-lumba
beliau menghirup sari segala ilmu kebatinan, Pertama-tama tantra Subuti
diselami, intinya masuk ke hati, Melakukan puja, yoga, samadi demi keselamatan
seluruh praja, Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba.
4.
Di antara para
raja yang lampau tidak ada yang setara beliau, Faham akan nan guna, sastra,
tatwopadesa, pengetahuan agama, Adil, teguh dalam Jinabrata dan tawakal kepada
laku utama, Itulah sebabnya beliau turun-temurun menjadi raja pelindung.
5.
Tahun Saka laut
janma bangsawan yama (1214) Baginda pulang ke Jinalaya, Berkat pengetahuan
beliau tentang upacara, ajaran agama, Beliau diberi gelaran: Yang Mulia
bersemayam di alam Siwa-Buda, Di makam beliau bertegak arca Siwa-Buda terlampau
indah permai.
6.
Di Sagala
ditegakkan pula arca Jina sangat bagus dan berkesan, Serta arca Ardanareswari
bertunggal dengan arca Sri Bajradewi, Teman kerja dan tapa demi keselamatan dan
kesuburan negara, Hyang Wairocana-Locana bagai lambangnya pada arca tunggal,
terkenal.
Sumber: Prof.
Dr. Slamet Mulyana (Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya)
http://padepokan-dewandaru.blogspot.com/2010/11/terjemahan-kitab-negara-kertagama.html
http://padepokan-dewandaru.blogspot.com/2010/11/terjemahan-kitab-negara-kertagama.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan baik dan sopan. Pasti akan dibalas oleh pemilik. Mohon jangan mengandung unsur kasar dan sara, mari berbagi pengetahuan, silakan kritik karena kritik itu membangun dan membuat sesuatu menjadi lebih baik