TEORI PERANG BUBAT
Bagian II Analisa Kitab Pararaton
Walau pun ada sisi sentimentil dari Kidung Sunda
itu yang mengatakan Hayam Wuruk yang menyesalkan kematian Dyah Pitaloka atau
Citraresmi putri keraton kerajaan Sunda Galuh yang dikisahkan bunuh diri.
Padahal kematian seperti itu bagi yang sudah sering mengalami peperangan adalah
sesuatu yang biasa, apalagi ajaran yang dianut memungkinkan si istri atau
keluarga mengorbankan diri setelah suami atau orang tuanya tiada, atau memang
secara kemanusiaan walaupun perang adalah suatu pilihan, dengan melihat puluh
ribuan orang melayang jiwanya, terbunuh, tentunya sebagai kesatria perang semua
akan melakukan penghormatan kepada pihaknya sendiri ataupun kepada pihak lawan,
tentunya dengan rasa duka cita yang mendalam.
Terjemahan kitab Kidung Sunda juga menjelaskan
tentang adanya utusan dari Majapahit ke kerajaan Sunda Galuh, yang diceritakan
telah membawa pesan yang merupakan maksud dan tujuan dari raja Hayam Wuruk
untuk melamar sang puteri keraton kerajaan Sunda Galuh. Analisa yang mungkin
untuk kejadian tersebut adalah bahwa kedatangan utusan dari Majapahit
sebenarnya merupakan utusan kerajaan untuk meminta raja Sunda Galuh untuk
tunduk dan takluk dibawah kontrol kerajaan Majapahit.
Pola-pola utusan-utusan seperti itu sudah barang
tentu merupakan hal yang biasa dilakukan, kalau salah satu kerajaan punya
keinginan untuk menaklukan kerajaan yang lainnya. Pola-pola utusan-utusan
seperti itu merupakan semacam peringatan, karena aturan atau norma hubungan
antar negara tidak melakukan penyerangan tiba-tiba tanpa alasan jelas, penulis
yakin peradaban saat itu sudah mengenal hal normatif antara sesama negara pada
umumnya. Pada akhirnya, kalau pun maksud dan tujuan utusan yang membawa pesan
kerajaan itu diterima, berarti kedua belah pihak berdamai dengan syarat-syarat
ditentukan bersama, dan kedudukan yang menerima harus bersedia menjadi kerajaan
bawahan dibawah kendali pihak kerajaan yang ingin menaklukan. Kejadian
sebaliknya, kalau ditolak, maka kedua belah pihak harus sudah mempersiapkan
diri untuk memulai peperangan.
Seandainya perang itu sudah diniatkan oleh raja
Sunda Galuh, seperti analisa sebeklumnya, maka pertanyaan selanjutnya adalah
mengapa pramesuri (istri raja) dan putri keraton ikut serta dalam rombongan.
Hal ini mudah dijawab, oleh karena asumsi rencana penyerangan merupakan
perjalanan panjang, memakan waktu lama, jagan dipikir persiapan dan perjalanan
itu bisa dilakukan singkat. Sebuah rencana operasi militer besar-besaran yang
akan dilakukan dari tanah Sunda ke Majapahit, setidaknya memerlukan waktu
persiapan akomodasi dan perjalanan yang memakan waktu lama, lihat lagi asumsi
hitung-hitungan jumlah prajurit yang begitu besar.
Persiapannya sendiri akan memakan lama waktu
tahunan, meliputi persiapan peralatan perang (senjata dan armada), segala
akomodasi diperjalanan dan setibanya ditempat tujuan. Akomodasi ini bukan hanya
untuk kebutuhan manusia, hewan seperti kuda juga karena tentunya ada pasukan
kavaleri (pasukan berkuda), sebagai bagian strategi perang yang paling efektif.
Terutama jumlah pasukan yang sangat besar yang dibawa, itu tidak mungkin
merupakan hanya terdiri dari pasukan kerajaan Sunda galuh saja, tapi ini
merupakan kekuatan gabungan dari semua sekutunya. Proses pengumpulan itu tidak
mudah dan perlu waktu, karena ini masalahnya perang, bisa jadi ada kerajaan
bawahan yang tidak mau ikut serta, dan semua kerajaan-kerajaan bawahannya pun
harus dinegoisasi terlebih dahulu, makanya persiapan perang ini perlu waktu
yang lama.
Genghis Khan, Kaisar tentara pasukan Mongol,
dalam melakukan rencana perang juga tidak serta merta terkumpul, untuk melawan
pasukan Jamuka saja, dia persiapannya sekitar 4 tahun, begitu pula ketika mau
menyerang kerajaan Jin dan Kesultanan Kwarizmi memerlukan waktu tahunan juga.
Kerangka berpikir inilah yang harusnya semua pemerhati sejarah menganalisa dari
berbagai sisi sekaligus menjiwai permasalahan tersebut yaitu mengenai segala
sesuatu yang menyangkut terjadinya perang antar negara.
Logika dan perhitungan mana pun akan tetap
memastikan bahwa dengan total armada yang dibawa sekitar 2000 kapal oleh
rombongan kerajaan Sunda Galuh adalah rombongan dengan jumlah yang teramat
besar, bahkan jumlah yang fantastis menurut ukuran saat itu, dalam waktu
sekarang pun kalau melihat dan merasakan sejumlah itu, pastinya akan mengatakan
hal serupa yaitu suatu pasukan besar. hal ini tidak bisa terelakan lagi bahwa
tidak mungkin rombongan kerajaan dari Sunda Galuh itu adalah rombongan untuk
suatu pernikahan (ngantenan) antara putri kerajaan dengan raja
Majapahit, tidak masuk logika, alhasil adalah bahwa pasukan tentara besar itu
tiada lain merupakan pasukan yang akan melakukan perang, bahkan katagorinya
adalah perang besar, bukan lagi perang lokalan.
Rombongan kerajaan Sunda Galuh dengan jumlah
armada yang besar, pasti dan selayaknya terdapat kapal-kapal utama yang besar,
mewah, lain dari pada kapal-kapal umumnya yang dibawa pasukan yang lain,
tentunya dengan kondisi yang nyaman untuk para pembesar kerajaan termasuk
keluarga raja. Kapal-kapal besar itu sudah barang tentu bisa digunakan oleh
anggota keluarga kerajaan melakukan kegiatan yang tidak terganggu oleh kondisi
perjalan perang, dan terbebas wilayah dari kontak dengan prajurit-prajuritnya
yang lain, dibuat senyaman dan seaman mungkin.
Keikutsertaan keluarga raja, pramesuri dan putri
raja dalam perjalanan untuk sebuah rencana peperangan adalah hal biasa
dilakukan pada saat itu, seperti halnya pasukan besar Mongol yang terdiri dari
puluhan atau ratusan ribu orang, didalamnya sering dibawa keluarganya dan bukan
hanya keluarga para pembesarnya saja, diantara mereka yang merupakan prajurit
menengah sering membawa keluarganya, seperti ketika melakukan perjalanan
panjang (long march) ke negara lain.
Long march pasukan Mongol itu
tercatat sebagai rekor dunia untuk perjalaan pasukan tempur kerajaan dengan
waktu terlama dan jarak terjauh, memakan lama waktu sampai tahunan dan ribuan
mil yang mereka sudah tempuh. Pada kenyataanya sekali lagi bahwa mereka sering
membawa ikut serta keluarganya, sekaligus mereka bisa dimanfaatkan untuk support
kebutuhan lainya seperti dalam persiapan upacara keagamaan atau kepercayaan
mereka sebelum memulai peperangan dan lain sebagainya. Pada saat-saat tertentu,
bisa jadi mereka merupakan motifator bagi pasukan atau bagi sang raja kalau
keluarga raja, dan menambah semangat tempur prajuritnya.
Jumlah armada perang sekitar 2.000 buah kapal
dengan prediksi teridiri dari jumlah pasukan yang lebih dari 60.000 orang
adalah suatu kemegahan yang sangat luar bisa, masuk akal memang bagi kerajaan
Sunda Galuh yang hidup makmur dan besar secara luas wilayah kekuasaannya, serta
lama waktu damai di internal kerajaannya sendiri. Terlihat adanya keinginan
untuk menunjukan superioritas perekonomian dan kemampuan dana mereka, bahkan
mungkin bagian dari unjuk kekuatan (show of force) untuk melemahkan
mental lawan.
Pasukan besar yang dipimpin raja Sunda Galuh itu
merupakan hal wajar, gabungan dari koloninya, daerah-daerah kerajaan bawahan
kekuasan kerajaan Sunda Galuh pada waktu itu. Jumlah itu sekali lagi merupakan
jumlah pasukan tentara gabungan (aliansi) dan pastinya ada sebuah keyakinan dan
kepercayaan diri dari mereka untuk dapat mengalahkan pasukan tentara kerajaan
Majapahit, dengan prediksi mereka bahwa ada kemungkinan sebagian besar pasukan
dari kerajaan Majapahit yang masih berada diluar wilayah dalam rangka melakukan
ekspedisi atau invasi ke wilayah negara atau kerajaan lainya di nusantara.
Jumlah pasukan besar
kerjaan Majapahit dan peristiwa perang Bubat ini, bisa dianalisa juga dari
informasi sumber sejarah lainnya, yang menjadi pendukung terjadinya kisah
perang Bubat yaitu kitab Pararaton (kitab para raja tanah jawa, khusus para raja
dinasti Wangsa Rajasa), yang salah satu petikan terjemahan dari
kitab Pararaton tentang peristiwa itu, diantaranya sebagai berikut:
"Selanjutnya
terjadi peristiwa orang orang Sunda di Bubat.
Seri Baginda Prabu
mengingini puteri Sunda. Patih Madu mendapat perintah menyampaikan permintaan
kepada orang Sunda, orang Sunda tidak berkeberatan mengadakan pertalian
perkawinan.
Raja Sunda datang di
Majapahit, yalah Sang Baginda Maharaja, tetapi ia tidak mempersembahkan
puterinya.
Orang Sunda bertekad
berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat, karena Patih Majapahit
keberatan jika perkawinan dilakukan dengan perayaan resmi, kehendaknya yalah
agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan.
Orang Sunda tidak setuju.
Gajah Mada melaporkan sikap orang orang Sunda.
Baginda di Wengker
menyatakan kesanggupan: "jangan khawatir, kakak Baginda, sayalah yang akan
melawan berperang."
Gajah Mada memberitahu
tentang sikap orang Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul, mengepung orang
Sunda.
Orang Sunda akan
mempersembahkan puteri raja, tetapi tidak diperkenankan oleh bangsawan
bangsawannya, mereka ini sanggup gugur dimedan perang di Bubat, tak akan
menyerah, akan mempertaruhkan darahnya."
Sampai pada akhir petikan diatas, sepertinya sejalan dengan awal kisah yang disampaikan dalam kitab pararaton yaitu ada hal yang tidak sesuai dengan rencana Gajah Mada, yang menyimpang dari kesepakatan semula antara Raja Majapahit dan raja Sunda Galuh tentang sistem pernikahan yang akan dilangsungkan, yaitu pernikahan ini murni niat Hayam Wuruk atas keinginan mempersunting putri raja.
Tapi kenyataan lain terjadi setelah sampai rombongan itu sampai di lapangan Bubat, Gajah Mada meminta pernyataan bahwa putri raja ini sebagai persembahan. Persembahan ini merupakan simbolisasi dari keharusan untuk menyataan takluk kerajaan Sunda atas Majapahit. Tentunya dengan harga diri yang merasa terinjak-injak itu, semua rombongan dari kerajaan Sunda, terlebih ada pernyataan dari para bangsawan yang menyatakan sikap tegas menolak akan hal itu dan dengan disertai keberanian untuk sanggup gugur sebagai para pahlawan kerajaan di lapangan Bubat.
Sampai akhir petikan diatas, alur cerita mengalir dengan mulus dan tanpa cela. Kemudian dilanjutkan dengan petikan dari terjemahan kitab Pararaton, sebagai berikut ini:
"Kesanggupan bangsawan bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada pihak Sunda yang bersemangat, yalah: Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Panji Melong, orang orang dari Tobong Barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, Orang Pangulu, Orang Saja, Rangga Kaweni, Orang Siring, Satrajali, Jagadsaja, semua rakyat Sunda bersorak. Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh.
Sang
Prabu Maharaja telah mendahului gugur, jatuh bersama sama dengan Tuhan Usus.
Seri
Baginda Parameswara menuju ke Bubat, ia tidak tahu bahwa orang orang Sunda
masih banyak yang belum gugur, bangsawan bangsawan, mereka yang terkemuka lalu
menyerang, orang Majapahit rusak.
Adapun
yang mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yalah: Arya Sentong, Patih
Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, dan Jaran Baya.
Semua
menteri araman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu
mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada, masing
masing orang Sunda yang tiba dimuka kereta, gugur, darah seperti lautan,
bangkai seperti gunung, hancurlah orang orang Sunda, tak ada yang ketinggalan,
pada tahun saka: Sembilan Kuda Sayap Bumi, atau: 1279."
Petikan
diatas seperti gayung bersambut dengan analisa tentang jumlah orang yang ikut
serta dalam rombongan, seirama atau sesuai dengan informasi yang diberikan
kitab Kidung Sunda, mengenai jumlah pasukan tentara kerajaan Sunda Galuh yang
ikut berperang, yaitu dengan skala jumlah pasukan tentara yang luar biasa besar
(perhatiakan huruf-huruf yang di cetak miring besar, bold).
"semua
rakyat Sunda bersorak", pernyataan itu kelihatanya tidak tepat,
untuk jumlah pasukan yang lebih sedikit lebih tepatnya "semua rakyat Sunda
berteriak histeris" untuk menyambut peristiwa bahwa dengan kesadaran merka
akan gugur, karena kemungkinan selamat tidak mungkin kalau asumsinya pasukan
hanya sedikit melawan pasukan besar.
Bersorak
lebih cenderung ke suatu emosi atau rasa keyakinan atas kepercayaan diri akan
menguasai lawan atau dengan maksud memberikan efek takut terhadap lawannya.
Pernyataan rakyat juga tidak tepat, soalnya jumlahnya sedikit, tidak mewakili,
mungkin bisa diganti dengan istilah rombongan, atau prajurit, atau orang-orang,
rakyat lebih mengarah kepada jumlah yang banyak.
Pernyataan
ini bisa dimaklumi, bisa jadi ada kesalahan penerjemahan, dan masih bisa
diabaikan, walaupun itu bisa jadi petunjuk kalau ada hal serupa selanjutnya.
Informasi
yang lain tentang "Bercampur dengan bunyi bende, keriuhan sorak tadi
seperti guruh" seoalah-olah pernyataan ini atas pernyataan yang
mash bisa diabaikan sebelumnya, tapi kelanjutanya meberikan informasi sejenis
atau salaing menguatkan tentang adanya pernyataan bunyi bende dan keriuhan
sorak seperti guruh atau tepatnya gemuruh, pernyataan ini jelas-jelas bahwa
rombongan sunda sudah bukan merupakan jumlah yang sedikit lagi, cenderung
mengarah ke jumlah yang besar, dan pernyataan ini tidak lagi bisa diabaikan,
setidaknya ada dua pernyataan yang sambung-menyambung dan saling menguatkan,
dan mudah-mudahan ada pernyataan lain yang lebih memperjelas kondisi atau
informasi itu
Luas biasa... bagian ini mengandung analisa yang jeli dan kritis... saya suka kang ejang..
BalasHapusmohon maaf, ikut memberi saran dari orang yang tidak faham dan pintar secara keilmuan. sumber dimaksud, bukan hanya 2 (dua) naskah saja, sehingga asumsi yang dibuat juga mempunyai nilai keilmuan dan valid. sehingga penafsiran yang dibuat tidak dangkal karena kekurangan sumber literatur. perlu juga dilihat di carita parahyangan, berapa kali Majapahit menyerang kerajaan Galuh dan selalu gagal. Kerajaan Galuh dan Sunda terkenal kuat di darat, tetapi di Laut kerajaan tersebut mempunyai kapal perang yang sedikit sekal. kapal yang ada adalah kapal kapal dagang. jadi tidak mungkin mengerahkan kapal yang sebegitu banyak. Kerajaan Galuh dan Sunda tidak pernah melakukan perluasan wilayah dengan cara menaklukan, apalagi Raja Majaphit pertama adalah putra mahkota Kerajaan Galuh ke-26, di Jawa lebih terkenal dengan JAKA SUSURUH.
BalasHapusKejadian perang tersebut adalah NYATA, adapun Kidung Sundayana berasal dari naskah orang BALI, yang pada waktu itu akan menikahkan Raja Hayam Wuruk dan Putri DYAH PITALOKA. kenapa ditulis orang Bali ? karena ada persamaan antara PUPUTAN dan berjuang sampe darah penghabisan. Orang Bali sampai sekarang menghormati kejadian tersebut. Coba lihat PURA di GUNUNG SALAK BOGOR, ada kuil PRABU SILIWANGI.
Coba Lihat juga, di Jawa Barat tidak ada nama jalan Hayam Wuruk atau Gajah Mada, kenapa ? kebetulan ? tentu tidak dari cerita orang tua yang turun temurun, kejadian bubhat shaba telah menggores AJEN DIRI sebagai orang SUNDA. Pantun atau cerita turun temurun adalah bagian dari sumber juga yang tidak bisa dikesampingkan.
coba tengok juga, apakah dengan kejadian tersebut dimana prajurit dan Raja nya gugur, terus KERAJAANNYA MENJADI BAWAHAN MAJAPAHIT ???.
Tengok juga setelah kejadian PERANG BUBHAT, Armada MAJAPAHIT yang mau melintas ke SUMATERA, harus meminta ijin dulu ke KERAJAAN SUNDA.
Mungkin itu saja, komentar saya, sekali lagi mohon maaf apabila saya seperti mengajari. atas kejadian BUBHAT ada gelas raja penerusnya menjadi PRABU SILIHWANGI.
ya memang kalau dipikir-pikir, perang bubat itu banyak kejanggalan. baik dari sisi kronologis, motif, hingga sumber sejarah.
BalasHapusmajapahit dan sunda baik2 saja secara politik. jadi entah kenapa sunda mesti menyerang majapahit yang sedang jaya-jayanya di kandang mereka sendiri? nekat sekali.
gajah mada juga bukan orang bodoh. tidak mungkin mau menyerang sunda sementara hayam wuruk selaku raja tidak pernah mau memberikan restu/lampu hijau.
jadi peristiwa bubat itu memang kontroversial. jadi sangat mungkin bahwa peristiwa itu sejatinya tidak pernah terjadi.