KITAB NEGARA KERTAGAMA
PUPUH XLIV- XXIII
Pupuh XLIV
1.
Tatkala Sri
Baginda Kertanagara pulang ke Budabuana, Merata takut, duka, huru hara, laksana
zaman Kali kembali, Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat,
Berkhianat,
karena ingin berkuasa di wilayah Kediri.
2.
Tahun Saka laut
manusia (1144) itulah sirnanya raja Kertajaya, Atas perintah Siwaput’ra
Jayasaba berganti jadi raja, Tahun Saka delapan satu satu (1180) Sastrajaya
raja Kediri, Tahun tiga sembilan Siwa raja (1193) Jayakatwang raja terakhir.
3.
Semua raja
berbakti kepada cucu putera Girinata, Segenap pulau tunduk kepada kuasa raja
Kertanagara, Tetapi raja Kediri Jayakatwang membuta dan mendurhaka, Ternyata
damai tak baka akibat bahaya anak piara Kali.
4.
Berkat
keulungan sastra dan keuletannya jadi raja sebentar, Lalu ditundukkan putera
Baginda; ketenteraman kembali, Sang menantu Dyah Wijaya, itu gelarnya yang
terkenal di dunia, Bersekutu dengan bangsa Tatar, menyerang melebur
Jayakatwang.
Pupuh XLV
1.
Sepeninggal
Jayakatwang jagad gilang-cemerlang kembali, Tahun Saka masa rupa surya (1216)
beliau menjadi raja, Disembah di Majapahit, k’sayangan rakyat, pelebur musuh,
Bergelar Sri Narapati Kretarajasa Jayawardana.
2.
Selama
Kretarajasa Jayawardana duduk di takhta, Seluruh tanah Jawa bersatu padu,
tunduk menengadah, Girang memandang pasangan Baginda empat jumlahnya, Puteri
Kertanagara cantik-cantik bagai bidadari.
Pupuh XLVI
1.
Sang
Parameswari Tribuwana yang sulung, luput dari cela, Lalu Parameswari Mahadewi,
rupawan tidak bertara, Prajnyaparamita Jayendradewi, cantik manis m’nawan hati,
Gayatri, yang bungsu, paling terkasih, digelarai Rajapatni.
2.
Perkawinan
beliau dalam kekeluargaan tingkat tiga, Karena Batara Wisnu dengan Batara
Narasingamurti, Akrab tingkat pertama; Narasinga menurunkan Dyah Lembu Tal,
Sang perwira yuda, dicandikan di Mireng dengan arca Buda.
Pupuh XLVII
1.
Dyah Lembu Tal
itulah bapa Baginda Nata, Dalam hidup atut runtun sepakat sehati, Setitah raja
diturut, menggirangkan pandang, Tingkah laku mereka semua meresapkan,
2.
Tersebut tahun
Saka tujuh orang dan surya (1217), Baginda menobatkan put’ranya di Kediri,
Perwira, bijak, pandai, putera Indreswari, Bergelar Sang raja putera
Jayanagara.
3.
Tahun Saka
surya mengitari tiga bulan (1231), Sang prabu mangkat, ditanam di dalam pura,
Antahpura, begitu nama makam beliau, Dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.
Pupuh XLVIII
1.
Beliau
meninggalkan Jayanagara sebagai raja Wilwatikta, Dan dua orang puteri keturunan
Rajapatni, terlalu cantik, Bagai dewi Ratih kembar, mengalahkan rupa semua
bidadari, Yang sulung jadi rani di Jiwana, yang bungsu jadi rani Daha.
2.
Tersebut pada
tahun Saka mukti guna memaksa rupa (1238) bulan Madu, Baginda Jayanagara
berangkat ke Lumajang menyirnakan musuh, Kotanya Pajarakan dirusak, Nambi
sekeluarga dibinasakan, Giris miris segenap jagad melihat keperwiraan Sri
Baginda.
3.
Tahun Saka
bulatan memanah surya (1250) beliau berpulang, Segera dimakamkan di dalam pura
berlambang arca Wisnuparama, Di Sila Petak dan Bubat ditegakkan arca Wisnu
terlalu indah, Di Sukalila terpahat arca Buda sebagai jelmaan Amogasidi.
Pupuh XLIX
1.
Tahun Saka Uma
memanah dwi rupa (1256), Rani Jiwana Wijayatunggadewi, Bergilir mendaki takhta
Wilwatikta, Didampingi raja put’ra Singasari.
2.
Atas perintah
ibunda Rajapatni, Sumber bahagia dan pangkal kuasa, Beliau jadi pengemban dan
pengawas, Raja muda, Sri Baginda Wilwatikta.
3.
Tahun Saka api
memanah hari (1253), Sirna musuh di Sadeng, Keta diserang, Selama bertakhta,
semua terserah, Kepada menteri bijak, Mada namanya.
4.
Tahun Saka
panah musim mata pusat (1265), Raja Bali yang alpa dan rendah budi, Diperangi,
gugur bersama balanya, Menjauh segala yang jahat, tenteram.
5.
Begitu ujar
Dang Acarya Ratnamsah, Sungguh dan mengharukan ujar Sang Kaki, Jelas keunggulan
Baginda di dunia, Dewa asalnya, titisan Girinata.
6.
Barangsiapa
mendengar kisah raja, Tak puas hatinya, bertambah baktinya, Pasti takut
melakukan tidak jahat, Menjauhkan diri dari tindak durhaka.
7.
Paduka Empu
minta maaf berkata: “Hingga sekian kataku, sang rakawi Semoga bertambah
pengetahuanmu Bagai buahnya, gubahlah puja sastra”.
8.
Habis jamuan
rakawi dengan sopan, Minta diri kembali ke Singasari, Hari surut sampai
pesanggrahan lagi, Paginya berangkat menghadap Baginda.
Pupuh L
1.
Tersebut
Baginda Raja berangkat berburu, Berlengkap dengan senjata, kuda dan kereta,
Dengan bala ke hutan Nandawa, rimba belantara, Rungkut rimbun penuh gelagah
rumput rampak.
2.
Bala bulat
beredar membuat lingkaran, Segera siap kereta berderet rapat, Hutan terkepung,
terperanjat kera menjerit, Burung ribut beterbangan berebut dulu.
3.
Bergabung sorak
orang berseru dan membakar, Gemuruh bagaikan deru lautan mendebur, Api tinggi
menyala menjilat udara, Seperti waktu hutan Kandawa terbakar.
4.
Lihat rusa-rusa
lari lupa darat, Bingung berebut dahulu dalam rombongan, Takut miris menyebar,
ingin lekas lari, Malah menengah berkumpul tumpuk timbun.
5.
Banyaknya bagai
banteng di dalam Gobajra, Penuh sesak, bagai lembu di Wresabapura, Celeng,
banteng, rusa, kerbau, kelinci, Biawak, kucing, kera, badak dan lainnya.
6.
Tertangkap
segala binatang dalam hutan, Tak ada yang menentang, semua bersatu, Srigala
gagah, yang bersikap tegak-teguh, Berunding dengan singa sebagai ketua.
Pupuh LI
1.
Izinkanlah saya
bertanya kepada sang raja satwa, Sekarang raja merayah hutan, apa yang
diperbuat? Menanti mati sambil berdiri ataukah kita lari, Atau tak gentar
serentak melawan, jikalau diserang?
2.
Seolah-olah
demikian kata srigala dalam rapat, Kijang, kaswari, rusa dan kelinci serempak
menjawab: “Hemat patik tidak ada jalan lain kecuali lari Lari mencari
keselamatan diri sedapat mungkin”.
3.
Banteng,
kerbau, lembu serta harimau serentak berkata: “Amboi! Celaka bang kijang,
sungguh binatang hina lemah Bukanlah sifat perwira lari, atau menanti mati,
Melawan dengan harapan menang, itulah kewajiban.”
4.
Jawab singa:
Usulmu berdua memang pantas diturut, Tapi harap dibedakan, yang dihadapi baik
atau buruk, Jika penjahat, terang kita lari atau kita lawan, Karena sia-sia
belaka, jika mati terbunuh olehnya.
5.
Jika kita
menghadapi tripaksa, resi Siwa-Buda, Seyogyanya kita ikuti saja jejak sang
pendeta, Jika menghadapi raja berburu, tunggu mati saja, Tak usah engkau merasa
enggan menyerahkan hidupmu.
6.
Karena raja
berkuasa mengakhiri hidup makhluk, Sebagai titisan Batara Siwa berupa narpati,
Hilang segala dosanya makhluk yang dibunuh beliau, Lebih utama daripada terjun
ke dalam telaga.
7.
Siapa di antara
sesama akan jadi musuhku? Kepada tripaksa aku takut, lebih utama menjauh,
Niatku, jika berjumpa raja, akan menyerahkan hidup, Mati olehnya, tak akan
lahir lagi bagai binatang.
Pupuh LII
1.
Bagaikan
katanya: “Marilah berkumpul!”, Kemudian serentak maju berdesak, Prajurit darat
yang terlanjur langkahnya, Tertahan tanduk satwa, lari kembali.
2.
Tersebut adalah
prajurit berkuda, Bertemu celeng sedang berdesuk kumpul, Kasihan! Beberapa mati
terbunuh, Dengan anaknya dirayah tak berdaya.
3.
Lihatlah celeng
jalang maju menerjang, Berempat, berlima, gemuk, tinggi, marah, Buas
membekos-bekos, matanya merah, Liar dahsyat, saingnya seruncing golok.
Pupuh LIII
1.
Tersebut
pemburu kijang rusa riuh seru menyeru, Ada satu yang tertusuk tanduk, lelah
lambat jalannya, Karena luka kakinya, darah deras meluap-luap, Lainnya mati
terinjak-injak, menggelimpang kesakitan.
2.
Bala kembali
berburu, berlengkap tombak serta lembing, Berserak kijang rusa di samping
bangkai bertumpuk timbun, Banteng serta binatang galak lainnya bergerak
menyerang, Terperanjat bala raja bercicir lari tunggang langgang.
3.
Ada yang lari
berlindung di jurang, semak, kayu rimbun, Ada yang memanjat pohon, ramai mereka
berebut puncak, Kasihanlah yang memanjat pohon tergelincir ke bawah, Betisnya
segera diseruduk dengan tanduk, pingsanlah!.
4.
Segera
kawan-kawan datang menolong dengan kereta, Menombak, melembing, menikam,
melanting, menjejak-jejak, Karenanya badak mundur, meluncur berdebak gemuruh,
Lari terburu, terkejar; yang terbunuh bertumpuk timbun.
5.
Ada pendeta
Siwa dan Buda yang turut menombak, mengejar, Disengau harimau, lari diburu
binatang mengancam, Lupa akan segala darma, lupa akan tata sila, Turut
melakukan kejahatan, melupakan darmanya.
Pupuh LIV
1.
Tersebut
Baginda telah mengendarai kereta kencana, Tinggi lagi indah ditarik lembu yang
tidak takut bahaya, Menuju hutan belantara, mengejar buruan ketakutan, Yang
menjauhkan diri lari bercerai-berai meninggalkan bangkai.
2.
Celeng,
kaswari, rusa dan kelinci tinggal dalam ketakutan, Baginda berkuda mengejar
yang riuh lari bercerai-berai, Menteri, tanda dan pujangga di punggung kuda
turut memburu, Binatang jatuh terbunuh, tertombak, terpotong, tertusuk,
tertikam.
3.
Tanahnya luas
lagi rata, hutannya rungkut, di bawah terang, Itulah sebabnya kijang dengan
mudah dapat diburu kuda, Puaslah hati Baginda, sambil bersantap dihadap
pendeta, Bercerita tentang caranya berburu, menimbulkan gelak tawa.
Pupuh LV
1.
Terlangkahi
betapa narpati sambil berburu menyerap sari keindahan, Gunung dan hutan,
kadang-kadang kepayahan kembali ke rumah perkemahan, Membawa wanita seperti
cengkerma; di hutan bagai menggempur negara, Tahu kejahatan satwa, beliau tak
berdosa terhadap darma ahimsa.
2.
Tersebut beliau
bersiap akan pulang, rindu kepada keindahan pura, Tatkala subakala berangkat
menuju Banyu Hanget, Banir dan Talijungan, Bermalam di Wedwawedan, siangnya
menuju Kuwarahan, Celong dan Dadamar, Garuntang, Pagar Telaga, Pahanjangan,
sampai di situ perjalanan beliau.
3.
Siangnya
perjalanan melalui Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Balanak, Menuju Pandakan,
Banaragi, sampai Pandamayan beliau lalu bermalam, Kembali ke selatan, ke barat,
menuju Jejawar di kaki gunung berapi, Disambut penonton bersorak gembira,
menyekar sebentar di candi Makam.
Pupuh LVI
1.
Adanya candi
makam tersebut sudah sejak zaman dahulu, Didirikan oleh Sri Kertanagara, moyang
Baginda raja, Di situ hanya jenazah beliau sahaja yang dimakamkan, Kar’na
beliau dulu memeluk dua agama Siwa-Buda.
2.
Bentuk candi
berkaki Siwa, berpuncak Buda, sangat tinggi, Di dalamnya terdapat arca Siwa,
indah tak dapat dinilai, Dan arca Maha Aksobya bermahkota tinggi tidak bertara,
Namun telah hilang; memang sudah layak, tempatnya: di Nirwana.
Pupuh LVII
1.
Konon kabarnya
tepat ketika arca Hyang Aksobya hilang, Ada pada Baginda guru besar, mashur,
Pada Paduka, Putus tapa, sopan suci penganut pendeta Sakyamuni, Telah terbukti
bagai mahapendeta, terpundi sasantri.
2.
Senang
berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi, Hormat mendekati Hyang arca
suci, khidmat berbakti sembah, Menimbulkan iri di dalam hati pengawas candi
suci, Ditanya, mengapa berbakti kepada arca dewa Siwa.
3.
Pada Paduka
menjelaskan sejarah candi makam suci, Tentang adanya arca Aksobya indah, dahulu
di atas, Sepulangnya kembali lagi ke candi menyampaikan bakti, Kecewa!
Tercengang memandang arca Maha Aksobya hilang.
4.
Tahun Saka api
memanah hari (1253) itu hilangnya arca, Waktu hilangnya halilintar menyambar
candi ke dalam, Benarlah kabaran pendeta besar bebas dari prasangka, Bagaimana
membangun kembali candi tua terbengkalai?.
5.
Tiada ternilai
indahnya, sungguh seperti surga turun, Gapura luar, mekala serta bangunannya
serba permai, Hiasan di dalamnya naga puspa yang sedang berbunga, Di sisinya
lukisan puteri istana berseri-seri.
6.
Sementara
Baginda girang cengkerma menyerap pemandangan, Pakis berserak sebar di tengah
tebat bagai bulu dada, Ke timur arahnya di bawah terik matahari Baginda,
Meninggalkan candi Pekalongan girang ikut jurang curam.
Pupuh LVIII
Tersebut dari
Jajawa Baginda b’rangkat ke desa Padameyan, Berhenti di Cunggrang, mencahari
pemandangan, masuk hutan rindang, Ke arah asrama para pertapa di lereng kaki
gunung menghadap jurang, Luang jurang ternganga-nganga ingin menelan orang yang
memandang.
2.
Habis menyerap
pemandangan, masih pagi kereta telah siap, Ke barat arahnya menuju gunung
melalui jalannya dahulu, Tiba di penginapan Japan, barisan tentara datang
menjemput, Yang tinggal di pura iri kepada yang gembira pergi menghadap.
3.
Pukul tiga
itulah waktu Baginda bersantap bersama-sama, Paling muka duduk Baginda, lalu
dua paman berturut tingkat, Raja Matahun dan Paguhan bersama permaisuri agak
jauhan, Di sisi Sri Baginda; terlangkahi berapa lamanya bersantap.
Pupuh LIX
1.
Paginya pasukan
kereta Baginda berangkat lagi, Sang pujangga menyidat jalan ke Rabut, Tugu,
Pengiring, Singgah di Pahyangan, menemui kelompok sanak kadang, Dijamu
sekadarnya karena kunjungannya mendadak.
2.
Banasara dan
Sangkan Adoh telah lama dilalui, Pukul dua Baginda t’lah sampai di perbatasan
kota, Sepanjang jalan berdesuk-desuk, gajah, kuda, pedati, Kerbau, banteng dan
prajurit darat sibuk berebut jalan.
3.
Teratur rapi
mereka berarak di dalam deretan, Narpati Pajang, permaisuri dan pengiring
paling muka, Di belakangnya, tidak jauh, berikut Narpati Lasem, Terlampau indah
keretanya, menyilaukan yang memandang.
4.
Rani Daha, rani
Wengker semuanyan urut belakang, Disusul rani Jiwana bersama laki dan
pengiring, Bagai penutup kereta Baginda serombongan besar, Diiringi beberapa
ribu perwira dan para ment’ri.
5.
Tersebut orang
yang rapat rampak menambak tepi jalan, Berjejal ribut menanti kereta Baginda
berlintas, Tergopoh-gopoh perempuan ke pintu berebut tempat, Malahan ada yang
lari telanjang lepas sabuk kainnya.
6.
Yang jauh
tempatnya, memanjat ke kayu berebut tinggi, Duduk berdesak-desak di dahan, tak
pandang tua muda, Bahkan ada juga yang memanjat batang kelapa kuning, Lupa malu
dilihat orang, karena tepekur memandang.
7.
Gemuruh dengung
gong menampung Sri Baginda raja datang, Terdiam duduk merunduk segenap orang di
jalanan, Setelah raja lalu, berarak pengiring di belakang, Gajah, kuda,
keledai, kerbau berduyun beruntun-runtun.
Pupuh LX
1.
Yang berjalan
rampak berarak-arak, Barisan pikulan bejalan belakang, Lada, kesumba, kapas,
buah kelapa, Buah pinang, asam dan wijen terpikul.
2.
Di belakangnya
pemikul barang berat, Sengkeyegan lambat berbimbingan tangan, Kanan menuntun
kirik dan kiri genjik, Dengan ayam itik di k’ranjang merunduk.
3.
Jenis barang
terkumpul dalam pikulan, Buah kecubung, rebung, s’ludang, cempaluk, Nyiru,
kerucut, tempayan, dulang, periuk, Gelaknya seperti hujan panah jatuh.
4.
Tersebut
Baginda telah masuk pura, Semua bubar masuk ke rumah masing-masing,
Ramai bercerita
tentang hal yang lalu, Membuat gembira semua sanak kadang.
Pupuh LXI
1.
Waktu lalu;
Baginda tak lama di istana, Tahun Saka dua gajah bulan (1282) Badra pada,
Beliau berangkat menuju Tirib dan Sempur, Nampak sangat banyak binatang di
dalam hutan.
2.
Tahun Saka tiga
badan dan bulan (1283) Waisaka, Baginda raja berangkat menyekar ke Palah, Dan
mengunjungi Jimbe untuk menghibur hati, Di Lawang Wentar, Blitar menenteramkan
cita.
3.
Dari Blitar ke
selatan jalannya mendaki, Pohonnya jarang, layu lesu kekurangan air, Sampai
Lodaya bermalam beberapa hari, Tertarik keindahan lautan, menyisir pantai.
4.
Meninggalkan
Lodaya menuju desa Simping, Ingin memperbaiki candi makam leluhur,
Menaranya
rusak, dilihat miring ke barat, Perlu ditegakkan kembali agak ke timur.
Pupuh LXII
1.
Perbaikan
disesuaikan dengan bunyi prasati, yang dibaca lagi, Diukur panjang lebarnya; di
sebelah timur sudah ada tugu, Asrama Gurung-gurung diambil sebagai denah candi
makam, Untuk gantinya diberikan Ginting, Wisnurare di Bajradara.
2.
Waktu pulang
mengambil jalan Jukung, Jnyanabadran terus ke timur, Berhenti di Bajralaksmi
dan bermalan di candi Surabawana, Paginya berangkat lagi, berhenti di Bekel,
sore sampai pura, Semua pengiring bersowang-sowang pulang ke rumah
masing-masing.
Pupuh LXIII
1.
Tersebut
paginya Sri naranata dihadap para ment’ri semua, Di muka para arya, lalu
pepatih, duduk teratur di manguntur, Patih amangkubumi Gajah Mada tampil ke
muka sambil berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban yang tak boleh
diabaikan.
2.
Atas perintah
sang rani Sri Tribuwana Wijayatunggadewi, Supaya pesta serada Sri Rajapatni
dilangsungkan Sri Baginda, Di istana pada tahun Saka bersirah empat (1284)
bulan Badrapada, Semua pembesar dan Wreda menteri diharap memberi sumbangan”.
3.
Begitu kata
sang patih dengan ramah, membuat gembira Baginda, Sorenya datang para pendeta,
para budiman, sarjana dan ment’ri, Yang dapat pinjaman tanah dengan Ranadiraja
sebagai kepala, Bersama-sama membicarakan biaya di hadapan Sri Baginda.
4.
Tersebut
sebelum bulan Badrapada menjelang surutnya Srawana, Semua pelukis berlipat giat
menghias “tempat singa” di setinggil, Ada yang mengetam baki makanan,
bokor-bokoran, membuat arca, Pandai emas dan perak turut sibuk bekerja membuat
persiapan,
Pupuh LXIV
1.
Ketika saatnya
tiba, tempat telah teratur sangat rapi, Balai Witana terhias indah, di hadapan
rumah-rumahan, Satu di antaranya berkaki batu karang, bertiang merah, Indah
dipandang, semua menghadap ke arah takhta Baginda.
2.
Barat, mandapa
dihias janur rumbai, tempat duduk para raja, Utara, serambi dihias berlapis ke
timur, tempat duduk, Para isteri, pembesar, menteri, pujangga serta pendeta,
Selatan, beberapa serambi berhias bergas untuk abdi.
3.
Demikian
persiapan Sri Baginda memuja Buda Sakti, Semua pendeta Buda berdiri dalam
lingkaran bagai saksi, Melakukan upacara, dipimpin oleh pendeta Stapaka,
Tenang, sopan, budiman faham tentang sastra tiga tantra.
4.
Umurnya
melintasi seribu bulan, masih belajar tutur, Tubuhnya sudah rapuh, selama
upacara harus dibantu, Empu dari Paruh selaku pembantu berjalan di lingkaran,
Mudra, mantra, dan japa dilakukan tepat menurut aturan.
5.
Tanggal dua
belas nyawa dipanggil dari surga dengan doa, Disuruh kembali atas doa dan
upacara yang sempurna, Malamnya memuja arca bunga bagai penampung jiwa mulia,
Dipimpin Dang Acarya, mengheningkan cipta, mengucap puja.
Pupuh LXV
1.
Pagi
purnamakala arca bunga dikeluarkan untuk upacara, Gemuruh disambut dengan
dengung salung, tambur, terompet serta genderang, Didudukkan di atas singasana,
besarnya setinggi orang berdiri, Berderet beruntun-runtun semua pendeta tua
muda memuja.
2.
Berikut para
raja, parameswari dan putera mendekati arca, Lalu para patih dipimpin Gajah
Mada maju ke muka berdatang sembah, Para bupati pesisir dan pembesar daerah
dari empat penjuru, Habis berbakti sembah, kembali mereka semua duduk rapi
teratur.
3.
Sri Nata
Paguhan paling dahulu menghaturkan sajian makanan sedap, Bersusun timbun
seperti pohon, dan sirih bertutup kain sutera, Persembahan raja Matahun arca
banteng putih seperti lembu Nandini, Terus-menerus memuntahkan harta dan
makanan dari nganga mulutnya.
4.
Raja Wengker
mempersembahkan sajian berupa rumah dengan taman bertingkat, Disertai
penyebaran harta di lantai balai besar berhambur-hamburan, Elok persembahan
raja Tumapel berupa perempuan cantik manis, Dipertunjukkan selama upacara untuk
mengharu-rindukan hati.
5.
Paling haibat
persembahan Sri Baginda berupa gunung besar Mandara, Digerakkan oleh sejumlah
dewa dan danawa dahsyat menggusarkan pandang, Ikan lambora besar
berlembak-lembak mengebaki kolam bujur lebar, Bagaikan sedang mabuk diayun
gelombang, ditengah tengah lautan besar.
6.
Tiap hari
persajian makanan yang dipersembahkan dibagi-bagi, Agar para wanita, menteri,
pendeta dapat makanan sekenyangnya, Tidak terlangkahi para kesatria, arya dan
para abdi di pura, Tak putusnya makanan sedap nyaman diedarkan kepada bala
tentara.
Pupuh LXVI
1.
Pada hari
keenam pagi Sri Baginda bersiap mempersembahkan persajian, Pun para kesatria
dan pembesar mempersembahkan rumah-rumahan yang terpikul, Dua orang pembesar
mempersembahkan perahu yang melukiskan kutipan kidung, Seperahu sungguh
besarnya, diiringi gong dan bubar mengguntur menggembirakan.
2.
Esoknya patih
mangkubumi Gajah Mada sore-sore menghadap sambil menghaturkan, Sajian perempuan
sedih merintih di bawah nagasari dibelit rajasa, Menteri, arya, bupati,
pembesar desa pun turut menghaturkan persajian, Berbagai ragamnya,
berduyun-duyun, ada yang berupa perahu, gunung, rumah, ikan….
3.
Sungguh-
sungguh mengagumkan persembahan Baginda raja pada hari yang ketujuh, Beliau menabur
harta, membagi-bagi bahan pakaian dan hidangan makanan, Luas merata kepada
empat kasta, dan terutama kepada para pendeta, Hidangan jamuan kepada pembesar,
abdi dan niaga mengalir bagai air.
4.
Gemeruduk dan
gemuruh para penonton dari segenap arah, berdesak-desak, Ribut berebut tempat
melihat peristiwa di balai agung serta para luhur, Sri Nata menari di balai
witana khusus untuk para puteri dan para istri, Yang duduk rapat rapi berimpit,
ada yang ngelamun karena tercengang memandang.
5.
Segala macam
kesenangan yang menggembirakan hati rakyat diselenggarakan, Nyanyian, wayang,
topeng silih berganti setiap hari dengan paduan suara, Tari perang prajurit,
yang dahsyat berpukul-pukulan, menimbulkan gelak-mengakak, Terutama derma
kepada orang yang menderita membangkitkan gembira rakyat.
Pupuh LXVII
1.
Pesta serada
yang diselenggarakan serba meriah dan khidmat, Pasti membuat gembira jiwa Sri
Rajapatni yang sudah mangkat, Semoga beliau melimpahkan berkat kepada Baginda
raja, Sehingga jaya terhadap musuh selama ada bulan dan surya.
2.
Paginya pendeta
Buda datang menghormati, memuja dengan sloka, Arwah Prajnyaparamita yang sudah
berpulang ke Budaloka, Segera arca bunga diturunkan kembali dengan upacara,
Segala macam makanan dibagikan kepada segenap abdi.
3.
Lodang lega
rasa Baginda melihat perayaan langsung lancar, Karya yang masih menunggu,
menyempurnakan candi di Kamal Pandak, Tanahnya telah disucikan tahun dahana
tujuh surya (1274), Dengan persajian dan puja kepada Brahma oleh Jnyanawidi.
Pupuh LXVIII
1.
Demikian
sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu
bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Erlangga kepada dua puteranya.
2.
Ada pendeta
Budamajana putus dalam tantra dan yoga, Diam di tengah kuburan Lemah Citra,
jadi pelindung rakyat, Waktu ke Bali berjalan kaki, tenang menapak di air
lautan, Hyang Mpu Barada nama beliau, faham tentang tiga zaman.
3.
Girang beliau
menyambut permintaan Erlangga membelah negara, Tapal batas negara ditandai air
kendi, mancur dari langit, Dari barat ke timur sampai laut; sebelah utara,
selatan, Yang tidak jauh, bagaikan dipisahkan oleh samudera besar.
4.
Turun dari
angkasa sang pendeta berhenti di pohon asam, Selesai tugas kendi suci
ditaruhkan di dusun Palungan, Marah terhambat pohon asam tinggi yang puncaknya
mengait jubah, Mpu Barada terbang lagi, mengutuk asam agar jadi kerdil.
5.
Itulah tugu
batas gaib, yang tidak akan mereka lalui, Itu pula sebabnya dibangun candi,
memadu Jawa lagi, Semoga Baginda serta rakyat tetap tegak, teguh, waspada,
Berjaya dalam memimpin negara, yang sudah bersatu padu.
Pupuh LXIX
1.
Prajnyaparamitapuri
itulah nama candi makam yang dibangun, Arca Sri Rajapatni diberkahi oleh Sang
pendeta Jnyanawidi, Telah lanjut usia, faham akan tantra, menghimpun ilmu
agama, Laksana titisan Empu Barada, menggembirakan hati Baginda
2.
Di Bayalangu
akan dibangun pula candi makam Sri Rajapatni, Pendeta Jnyanawidi lagi yang
ditugaskan memberkahi tanahnya, Rencananya telah disetujui oleh sang menteri
demung Boja, Wisesapura namanya, jika candi sudah sempurna dibangun.
3.
Candi makam Sri
Rajapatni tersohor sebagai tempat keramat, Tiap bulan Badrapada disekar oleh
para menteri dan pendeta, Di tiap daerah rakyat serentak membuat peringatan dan
memuja, Itulah suarganya, berkat berputera, bercucu narendra utama.
Pupuh LXX
1.
Tersebut pada
tahun Saka angin delapan utama (1285), Baginda menuju Simping demi pemindahan
candi makam, Siap lengkap segala persajian tepat menurut adat, Pengawasnya
Rajaparakrama memimpin upacara.
2.
Paham tentang
tatwopadesa dan kepercayaan Siwa, Memangku jabatannya semenjak mangkat
Kertarajasa, Ketika menegakkan menara dan mekala gapura, Bangsawan agung Arya
Krung, yang diserahi menjaganya.
3.
Sekembalinya
dari Simping, segera masuk ke pura, Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada
gering, Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa, Di pulau Bali serta
kota Sadeng memusnahkan musuh.
Pupuh LXXI
1.
Tahun Saka tiga
angin utama (1253) beliau mulai memikul tanggung jawab, Tahun rasa (1286)
beliau mangkat; Baginda gundah, terharu, bahkan putus asa, Sang dibyacita Gajah
Mada cinta kepada sesama tanpa pandang bulu, Insaf bahwa hidup ini tidak baka,
karenanya beramal tiap hari.
2.
Baginda segera
bermusyawarah dengan kedua rama serta ibunda, Kedua adik dan kedua ipar tentang
calon pengganti Ki patih Mada, Yang layak akan diangkat hanya calon yang
sungguh mengenal tabiat rakyat, Lama timbang-menimbang, tetapi seribu sayang
tidak ada yang memuaskan.
3.
Baginda
berpegang teguh, Adimenteri Gajah Mada tak akan diganti, Bila karenanya timbul
keberatan, beliau sendiri bertanggung jawab, Memilih enam menteri yang
menyampaikan urusan negara ke istana, Mengetahui segala perkara, sanggup tunduk
kepada pimpinan Baginda.
Pupuh LXXII
1.
Itulah putusan
rapat tertutup, Hasilnya yang diperoleh perundingan, Terpilih sebagai
wredamenteri, Karib Baginda bernama Mpu Tandi.
2.
Penganut karib
Sri Baginda Nata, Pahlawan perang bernama Mpu Nala, Mengetahui budi pekerti
rakyat, Mancanegara bergelar tumenggung.
3.
Keturunan orang
cerdik dan setia, Selalu memangku pangkat pahlawan, Pernah menundukkan negara
Dompo, Serba ulet menaggulangi musuh.
4.
Jumlahnya
bertambah dua menteri, Bagai pembantu utama Baginda, Bertugas mengurus soal
perdata, Dibantu oleh para upapati.
5.
Mpu Dami
menjadi menteri muda, Selalu ditaati di istana, Mpu Singa diangkat sebagai
saksi, Dalam segala perintah Baginda.
6.
Demikian titah
Sri Baginda Nata, Puas, taat teguh segenap rakyat, Tumbuh tambah hari setya
baktinya, Karena Baginda yang memerintah.
Pupuh LXXIII
1.
Baginda makin
keras berusaha untuk dapat bertindak lebih bijak, Dalam pengadilan tidak
serampangan, tapi tepat mengikut undang-undang, Adil segala keputusan yang
diambil, semua pihak merasa puas, Mashur nama beliau, mampu menembus zaman,
sungguhlah titisan batara.
2.
Candi makam serta
bangunan para leluhur sejak zaman dahulu kala, Yang belum siap diselesaikan,
dijaga dan dibina dengan saksama, Yang belum punya prasasti, disuruh buatkan
piagam pada ahli sastra, Agar kelak jangan sampai timbul perselisihan, jikalau
sudah temurun.
3.
Jumlah candi
makam raja seperti berikut, mulai dengan Kagenengan, Disebut pertama karena
tertua: Tumapel, Kidal, Jajagu,Wedwawedan, Di Tuban, Pikatan, Bakul, Jawa-jawa,
Antang Trawulan, Kalang Brat dan Jago, Lalu Balitar, Sila Petak, Ahrit, Waleri,
Bebeg, Kukap, Lumbang dan Puger.
Sumber: Prof.
Dr. Slamet Mulyana (Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya)
http://padepokan-dewandaru.blogspot.com/2010/11/terjemahan-kitab-negara-kertagama.html
http://padepokan-dewandaru.blogspot.com/2010/11/terjemahan-kitab-negara-kertagama.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan baik dan sopan. Pasti akan dibalas oleh pemilik. Mohon jangan mengandung unsur kasar dan sara, mari berbagi pengetahuan, silakan kritik karena kritik itu membangun dan membuat sesuatu menjadi lebih baik