Kamis, 21 Juni 2012

PURNAWARMAN RAJA MENDUNIA II

PURNAWARMAN RAJA MENDUNIA

ANALISA SIMBOL LEBAH, TERATAI DAN LABA-LABA

Pertama tentang lebah. Coba pembaca resapi, renungkan dan pikirkan dari uraian tentang lebah. Seandainya simbol sepasang lebah itu bertujuan untuk memberikan informasi mengenai sistem kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerajaan Tarumanagara, artinya Kerajaan Tarumanagara sudah mengalami peradaban begitu maju luar biasa. Sempurna sebagai sebuah bangsa dan negara dalam tata dan aturan yang mereka miliki serta konsep kehidupam semua elemen didalamnya. Tidak termasuk katagori peradaban terbelakang, kuno atau bahkan purba malah sangat maju.

Mereka sudah mampu menerapkan sistem kehidupan normal yang hampir sama dengan kehidupan kita sekarang, bahkan kalau benar-benar sifat kehidupan itu sesuai dengan sifat lebah diatas secara faktual dan nilai, mereka jauh beradab dari kita sekarang. Nilai-nilai disini maksudnya tidak dipengaruhi dan bukan berbicara masalah tehnologi.

Wajar seandainya Kerajaan Tarumanagara menjadi idola, contoh, dan sumber inspirasi bangsa-bangsa lain. Disegani, ditakuti atau bahkan dijadikan induk bagi kerajaan-kerajaan yang lainnya. Mempunyai tingkat kehidupan sosial dan budaya yang sudah sangat teratur dan tersusun sistematis. Biasanya bangsa seperti ini adalah bangsa yang besar, dihargai dan disegani pada masanya. Lihat kembali poin-poin tentang lebah. Penulis merasa relevansinya  tidak perlu dijabarkan atau dijelaskan lagi, penulis yakin pembaca bisa memaknainya secara sempurna.

Kedua tentang Teratai. Ini merupakan simbolisasi dari nilai-nilai spiritual, religius, yang berkembang dalam kehidupan berkenegaraan di Kerajaan Tarumanagara. Memberikan tanda atau informasi kepada kita bahwa masyarakat Tarumanagara sebagian besar masyarakatnya yang sudah memiliki kepercayaan kepada Sang Pencipta atau beragama, tidak lagi animisme, walaupun pada kenyataannya mungkin saja masih ada aliran kepercayaan animisme. Bukan pada masa itu, masa sekarang pun penulis yakin masih ada kalau berbicara masalah animisme, khusus di negara kita ya! Jangan melebar kemana-mana.

Bukankah agama berasal dari bahasa sansekerta? “a” berarti tidak, “gama” berarti kacau. Karena digabung jadi pengertian agama mengadung arti kata “tidak kacau” artinya orang beragama adalah orang yang hidupnya tidak kacau. Masyarakat beragama adalah masyarakat yang tidak kacau, masyarakat yang sudah patuh dan taat terhadap aturan yang diajarkan dan dibimbing oleh nilai-nilai kepercayaannya yang dianut, ada pola keteraturan dalam bermasyarakat dalam hal ini.

Jelas sudah! Bahwa Kerajaan Tarumanagara adalah kerajaaan yang beragama, kerajaan yang hidup berdasarkan nilai-nilai kepercayaan yang meraka jalankan. Inilah yang menjadi ciri bahwa Kerajaan Tarumnagara sudah mempunyai peradaban yang tinggi.

Dan mohon atau harap pembaca ingat pula! Bahwa setiap pemeluk (atau umat) agama yang hidup pada masa mendekati kelahiran atau kemunculan agama tersebut cenderung lebih bisa menjiwai secara nilai-nilai psikologis dan prakteknya. Ya atau Tidak? (dijawab “atau” supaya aman hehehe). Ssttt!...ini berlaku loh untuk semua agama atau kepercayaan manapun. Artinya secara penerapan nilai-nilai keagamaan, tentunya mereka lebih baik dari masa sesudahnya. Apa masa sekarang termasuk “masa sesudahnya”? masa gitu aja harus penulis jawab sendiri hehehe. Lihat diri pribadi dan lingkungan sekitar kita, bandingkan dengan masa awal kemunculan agama atau kepercayaan yang kita anut. Pasti pertanyaan diatas dapat terjawab dengan sempurna.

Ketiga tentang laba-laba. Penulis memaknai uraian tentang laba-laba diatas yaitu bahwa Tarumanagara sebagai sebuah negara atau kerajaan yang sudah terbentuk menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, tentunya untuk mempertahankan kedaulatanya perlu sistem pertahanan negara yang kuat seandainya ingin tetap disebut sebagai sebuah negara. Tanpa itu, dalam waktu cepat Tarumanagara akan wassalam, tamat! Jangan harap bisa terus berdiri.
Simbolisasi laba-laba yang mau disampaikan adalah sebuah simbol yang berisikan nilai filosofis terhadap pertahanan negara yang menggunakan sistem jaring laba-laba.

Sistem pertahanan negara yang mempunyai sifat elastis, pleksibel, kuat dan perangkap mematikan serta daya tahan luar biasa bahkan nilai-nilai sportif pun ada alias fair play atau kesatria, juga kelihatan dalam hal ini simbol jaring laba-laba digabung dengan sifat lebah, alhasil akan memenuhi sekali kriteria “art of war” yang diajarkan Tsun Shu, ahli strategi perang masa kerajaan China, sebagai mana uraian tentang laba-laba dan lebah sebelumnya. Kalau penasaran baca lagi tentang uraian mengenai jaring laba-laba dan lebah diatas, adakalanya menyerang dengan ganas dan cepat, tapi adakalanya bertahan total tapi membuat pihak lawan tidak berdaya.

Tapi dari uraian diatas juga disebutkan bahwa jaring laba-laba harus selalu di maintaince atau dipelihara. Tentunya ini sangat logis dan alamiah, segala sesuatu pun tidak ada yang kekal kalau berhadapan dengan sang waktu dan kondisi alam yang mempengaruhinya. Pemeliharaan yang dilakukan adalah dengan terus melakukan evaluasi terus menerus dan selalu meningkatan kemampuan diri misal dari sisi tehnologinya. Jangan lupa yang satu ini yaitu yang paling utama adalah semangat masyarakat kerajaannya yang harus terus dijaga, ditingkatkan, dipupuk dan selalu ditempa sehingga semangat bela negara tetap kokoh, karena itu rohnya. Dan ini sangat tergantung raja dan perangkatnyalah yang mampu melakukan pemelihara tersebut, kewajiban sebagai penguasa atau pemerintah setempat.

Sungguh kerajaan Tarumanagara mempunyai konsep filosofi yang sangat luar biasa untuk sistem pertahanan negaranya. Apakah saat sekarang masih relavan? Konsep ini keliahatanya berlaku sepanjang masa. Ini adalah warisan dari peradaban jaman dahulu kala, ini pun jika kita mampu memaknainya, teramat berharga nilai-nilai yang diwarisankan kepada kita, walau dalam bentuk simbol, kewajiban kitalah untuk menggali dan mendalaminya.

Baca lagi tentang lebah, walau tanpa catatan mereka mampu mengingat dengan sempurna  Ibarat orang tuna netra tapi mereka terlatih dengan indra lain untuk menggantikan fungsi penglihatanya. Dengan demikian walaupun menurut peradaban saat ini keliahatan tidak mungkin, tapi kenyataannya seperti itu, kehidupan bernegara dapat dijalankan dengan apik. Makanya pada masa lampau setiap catatan undang-undang dan peraturan bernegara yang diberlakukuan untuk seluruh masyarakatnya cukup dengan berupa syair. Syair itulah pengganti dari catatan dalam kehidupan pada saat itu, dan itu lebih paten, bisa dihapal dan dicerna masyarakatnya, dan itu sangat efektif. Bandingkan dengan kehidupan masa kini. Siapa diantara kita yang hapal KUHAP atau peraturan perundangan lainya? padahal sudah dicatat dan dibukukan.
BAGIAN SELANJUTNYA>>>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan baik dan sopan. Pasti akan dibalas oleh pemilik. Mohon jangan mengandung unsur kasar dan sara, mari berbagi pengetahuan, silakan kritik karena kritik itu membangun dan membuat sesuatu menjadi lebih baik

Creative Commons License
MENGUAK TABIR SEJARAH NUSANTARA by Ejang Hadian Ridwan is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Based on a work at menguaktabirsejarah.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://menguaktabirsejarah.blogspot.com.