KEPUTUSAN POLITIK SANG JOKO DOLOG
AKHIR DAN KESIMPULAN
Pemberontakan-pemberontakan
dalam analisa sebelumnya dan terakhir Jayakatwang, ini dimungkinkan karena
melihat celah cukup lebar. Kebijakan politik luar negeri dari Sri Kertanegara dengan mengirimkan
sebagian besar pasukan militernya, yang terkenal dengan istilah “Ekspedisi
Pamalayu”, pada tahun 1197 saka atau 1275 Masehi, mengakibatkan pasukan militer
kerajaan di dalam negeri sendiri menjadi keteter, lemah. Pemberontakan Cayaraja
(Cahaya Raja) dan Mahisa Rangkah (Mahisa Rangga) termasuk kategori masih lokalan, kecil tapi kelasnya
Jayakatwang sungguh berbeda. Kesempatan inilah yang benar-benar dimanfaatkan
oleh Jayakatwang yang sudah merencanakan sekian lama. Atau kalau pun tidak ada
niat sebelumnya, tetapi melihat kesempatan didepan mata, Jayakatwang tidak
mensia-siakannya. Ingat! Hukum niat dan kesempatan hehehe
Perhatikan nama Cayaraja dan
Mahisa Rangga, nama-nama itu pastilah bukan nama sembarangan, tapi setidaknya masih
mempunyai keturunan beradarah biru, sepirtus kalee..darah kok biru? Hehehe.
Artinya bisa jadi mereka adalah gelombang pemberontakan atas nama keturunan
kerajaan sebelumnya. Walau dalam Nagarakertagama disebut mereka hanyalah
penjahat kecil, pemberontak dan lain sebagainya, wajar karena ini memberikan
efek psikologis masa bahwa pemberontakan yang mereka lakukan hanyalah sebuah
kejahatan dengan maksud tidak baik dan wajar pula kalau mereka ditumpas. Jangan
dibesar-besarkan, seperti itu kasarannya.
Padahal, untuk pemberontakan
Jayakatwang, Sri Kertanegara sudah mengantisifasinya dengan melakukan metode perkawinan
atas dasar kepentingan politik, salah satunya yaitu dengan menikahkan putrinya
dengan anak dari Jayakatwang, Pangeran Ardharaja. Jayakatwang sendiri merupakan
sepupu, kakak ipar (istri Jayakatwang, Terukbali adalah anak Sri Wisnuwardahna,
ayah Sri Kertanegara) sekaligus besan dari Sri Kertanegara. Metoda Kawin silang
(hahhh!? kasar banget kawin silang, emangnya domba hehehe), ehhh ralat metoda
perkawianan atas dasar politik ini sebenarnya bukan hal baru, sebelumnya pun
sudah dilakukan, masa-masa ayahnya Sri Kertanegara, ya sama tujuannya politik juga.
Tapi memang, rasa haus
kekuasaan yang diselimuti dendam masa lalu, karena Jayakatwang walaupun sudah
masuk lingkungan keluarga kerajaan, lingkaran istana tetap berdarah langsung
penguasa Kediri sebelumnya, nilai ikatan penikahan dan persaudaraan seolah
tiada arti, diabaikan begitu saja. Itulah Kekuasan yang dengan segala daya
tariknya bisa membuat siapapun melakukan segala hal bahkan diluar batas
kemanusiaan itu sendiri. Dari jaman dulu, pada awal kelompok manusia terbentuk
hingga sekarang ketika sudah terbentuk sistem kenegaraan yang namanya kekuasan
tetap begitu keadaanya diinginkan dan diperebutkan, sudah menjadi hukum alam.
Pada 1292 Masehi, ini adalah
tahun penuh peristiwa besar bagi kerajaan Singosari. Peristiwa pertama, rencana
kedatangan, tepatnya penyerbuan pasukan Mongol, yang dilatarbelakangi
kedatangan sebelumnya utusan Men Shi atau Meng-qi (孟琪) dan team tahun 1289 Masehi,
yang membawa pesan supaya raja Jawa dalam hal ini Sri Kertanagara, Raja
Singosari, raja Jawa yang dimaksud untuk tunduk dan mengakui Sang Kekaisaran
Agung Mongol sekaligus Penguasa Dinasti Yuan, Kubelai Sayang, eh maaf salah,
maksudnya Kubilai Khan. Salah sendiri, nama raja mirip dengan “Kubelai”
romantis banget hehehe. Tetapi Sri Kertanegara menolak tegas. Utusan Mongol
bahkan diperlakukan tidak manusiawi, dipotong telinganya. Ini kali kedua
penghinaan yang dilakukan terhadap utusan Mongol selain dari Kesultanan
Khwarizmi yang telah melakukan terlebih dahulu pada masa Kekaisaran Mongol yang
pertama, Jenghis Khan, Sang Penakluk.
Sikap seperti ini kelihatanya
gegabah dari Sri Kertanegara, tapi itupun bukan tanpa dasar. Semenjak kebijakan
politik luar negeri digelar dengan Ekspedisi Pamalayu-nya tahun 1275 Masehi,
Sri Kertanegara sudah berhitung dan merasa pede alias percaya diri bahwa apa
yang sudah dia himpun dengan membentuk aliasi beranggotakan negara-negara
tetangga di Nusantara dirasa akan mampu menghadang serangan pasukan tentara Mongol. Sungguh
keberanian luar biasa memang dan patut dibanggakan. Penulis sungguh salute.
Sejatinya, Ekspedisi Pamalayu
itu selain misi menghimpun kekuatan aliansi atau gabungan untuk membendung
kekuatan Mongol, terdapat misi ganda yaitu ambisi dari Sri Kertanegara untuk
menaklukan nusantara. Hal ini terlihat dari pengiriman pasukan luar biasa besar
yang dikirim kearah barat, Sumatera dan semenanjung melayu jauh-jauh hari, lihat
tahunnya 1275 Masehi, kisaran 17 tahun sebelum di lengser ke prabon, tepatnya terbunuh atau wassalam.
Setelah utusan Mongol itu
diusir, karena memang kenyataannya demikian, artinya genderang perang telah
ditabuh, tidak bisa ditarik kembali, mau atau tidak kenyataan perang itu pasti
tejadi. Maka dari itu untuk menghadapi serangan dalam tempo dekat, perlu
gerakan cepat juga dari Singosari untuk menghimpun kembali rencana dan kekuatan
yang sudah dirintis sebelumya, dengan demikian Ekspedisi Pamalayu terus belanjut
dan eskalasinya lebih besar lagi pasukan yang dikirim kisaran tahun 1289-1292
masehi, selama 3 tahun.
Peristiwa kedua, disinilah
malapetaka terjadi. Musuh dari dalam menusuk, pemberontakan Jayakatwang
meletus, Sri Kertanagara terbunuh, sungguh tragis. Hal yang kelihatannya sepele
bisa menghancurkan misi dan visi besar dari Sri Kertanagara.
Kesimpulan. Pembuatan Arca Mahaksobya dan
maklumat yang berisikan penobatan Sri Kertanagara sebagai Jina atau Budha Agung,
tiada lain adalah usaha dari Sri Kertanagara untuk mengaman dan menenangkan
perpolitikan dalam negeri. Tetapi, hitungan tinggal hitungan, walau pun awalnya
sudah diduga akan adanya bahaya laten yang mengancam dari dalam negeri sendiri, pada saatnya Sri Kertanagara
tidak menyangka kondisi yang bakal terjadi sungguh diluar perkiraannya.
Maklumat ini sendiri sebenarnya
memiliki dua tujuan, selain menegaskan sikap politiknya tentang hak dan
kekuasaan Singosari ditangan Dinasti Rajasa, khususnya untuk Sri Kertanegara
sendiri, terdapat tujuan lain yaitu bentuk permintaan dukungan secara tidak
langsung dari sikap politik luar negerinya, yaitu dengan menyatakan perang
terhadap Kekaisaran Mongol.
Ide Jina atau Budha Agung,
merupakan duplikatisasi dari apa yang dilakukan Jenghis Khan, Sang Penakluk, sebelum
menyatakan dan memaklumatkan penaklukan negara-negara tetangganya, dan ini
memberikan nuansa religius, semangat berjuang dan berkorban demi negara, efek langsungnya adalah dukungan total dari
bangsanya atas apa yang dilakukan Jenghis Khan, karena merupakan perwakian
langsung dari Sang Pencipta, sesuai dengan kepercayaan mereka tentunya, dan ini
tidak boleh disangsikan oleh siapapun bagi yang tunduk dibawah naungannya, kalau disangsikan kepala bisa mengelutuk ke tanah (masa kepala melayang terbang donkkk hehehe).
Begitu juga dengan maksud dan tujuan dari Arca Mahaksobya dan upacara penobatan Sri
Kertanegara sebagai Jina, tujuannya untuk mendapat dukungan penuh dari rakyatnya.
Lihat lagi sebutan bagi Sri Kertanegara dalam prasasti itu, yaitu Sri Jnanasiwawajra atau Sri Jinasiwawajra, terdapat unsur kata Siwa, yang tiada lain adalah dewa yang dianut oleh golongan agama Hindu, artinya selain dukungan politik dari agama Buddha yang dianut tentunya Sri Kertanagara pun harus merangkul agama negara lainya, Hindu. Sedangkan Siwa adalah perlambang bagi seorang pemimpin perang. Julukan yang diberikan sama oleh para Brahmana kepada Sri Rajasa, kakek buyutnya ketika memulai peperangan dengan Kerajaan Kediri. Siaasat atau strategi untuk merangkul semua golongan.
Seolah-olah pernyataan penulis diatas benar, tetapi yang sebenarnya adalah bahwa sejatinya Sri Kertanegara pada kenyataannya menganut atau menggabungkan dua kepercayaan itu, Sri Kertanagara adalah penganut Siwa sekaligus penganut Budha. "Wah...jangan sembarangan bicara penulis, data dari mana itu?" pertanyaan pembaca yang belum paham. Ya, penulis tentu punya data donkkk, salah bicara ya siap-siap "dibata" sama pembaca kalau sembarangan atau se-enak udele dewe hehehe. Tentang Sri Kertanagara mempunyai dua kepercayaan ini diberitakan oleh NegaraKertagama pupuh 56 bait ke-1.
Sri Kertanagara-lah sebagai pelopor sekaligus pengagas serta yang mengajarkan kepercayaan campuran antara agama Hindu aliran Siwa dan Budha, kalau pembaca masih ingat diawal artikel bahwa candi Singosari dibentuk dengan gabungan dua desain, bawah corak Hindu aliran Siwa dan atas bercorak Budha.
Salah satu kepercayaanya terhadap Hindu aliran Siwa-lah yang membuat Sri Kertanagara yakin bahwa masa-masa pemerintahannya adalah termasuk kedalam pembagian jaman menurut agama Hindu yaitu jaman Kaliyuga, intinya jaman penuh kekacauan dan hanya raja yang bepegang teguh terhadap agamalah yang bisa menaklukan jaman Kaliyuga tersebut. Bahkan masyarakat Singosari sangat meyakini betul ketika Sri Kertanagara meninggal bahwa jaman kaliyuga sedang menimpa mereka. Dasar pemikirannya yaitu karena memang dalam kepemerintahanya dihantui oleh segala macam pemberontakan dan ancaman serangan dari Mongol. Tentang Sri Kertanagara mempercayai jaman kaliyuga ini diberitakan oleh Nagarakertagama pupuh ke-42, ke-43 dan ke-44.
Kepercayaan campuran ini membawa dampak yang sungguh luar biasa, masih terasa sampai saat masuknya Agama Islam dan bahkan mungkin sampai sekarang. Silakan pembaca telahah dengan seksama tentang serat-serat yang bermunculan dalam sastra Jawa seperti Serat Wedathama, Serat Bimasonya, Serat Darmogandul dan Serat Gatholoco. Semuanya berisikan campuran berbagai pemahaman, hati-hati memaknainya. Dan itu timbul karena pemahaman yang turun temurun yang diajarkan Sri Kertanagara, cuma situasi yang dihadapinya berbeda. Kisah Sabdo Palon Nayo Genggong, sungguh nyata terlihat ada yang mencoba mengangkat pemahaman campuran seperti itu. Sekali-lagi hati-hati!
Khusus untuk serat Gatholoco yang merupakan karya sastra jawa, berbentuk puisi tembang macapat (sinom) seolah-olah bernafaskan Islam dan ajaran tasawuf yang lebih kearah mistik. Terdapat isi pecakapan atau perdebatan antara Gatholoco dan Dewi Parjiwati. Pembaca kalau paham arti Gatholoco berasal dari Gatho dan Loco pasti meringis sambil pengen ketawa dan itu benar....alias aktivitas seksual laki-laki. Coba liat nama Dewi Parjiwati asal katanya dari Parji (bahasa arab) dan wati yang artinya kelamin perempuan, sampai disini sudah bisa menebak apa isi cerita Gatholoco? jangan senyum-senyum pembaca...akui aja dengan jujur hehehe.
Kembali Lagi. Jina Mahaksobhya sering diartikan sebagai julukan bagi penguasa dari belahan bumi bagian Timur dan itu ditujukan untuk Sri Kertanegara, sedangkan Jenghis khan mendapat julukan Jina Mahamithaba yang berarti pengusa dari belahan bumi bagian barat, ya boleh-boleh saja dipahami seperti itu, tapi Jina bukankah arti lainnya Budha Agung dan ini hanya untuk para penganut agama Budha, sedangkan Jenghis Khan tentu tidak bisa disebut Jina karena kepercayaan yang dianutnya berbeda. Bagi yang memahami sebutan Jina Mahamithaba bagi Jeghis Khan, perlu ditinjau ulang dasarnya.
Seolah-olah pernyataan penulis diatas benar, tetapi yang sebenarnya adalah bahwa sejatinya Sri Kertanegara pada kenyataannya menganut atau menggabungkan dua kepercayaan itu, Sri Kertanagara adalah penganut Siwa sekaligus penganut Budha. "Wah...jangan sembarangan bicara penulis, data dari mana itu?" pertanyaan pembaca yang belum paham. Ya, penulis tentu punya data donkkk, salah bicara ya siap-siap "dibata" sama pembaca kalau sembarangan atau se-enak udele dewe hehehe. Tentang Sri Kertanagara mempunyai dua kepercayaan ini diberitakan oleh NegaraKertagama pupuh 56 bait ke-1.
Sri Kertanagara-lah sebagai pelopor sekaligus pengagas serta yang mengajarkan kepercayaan campuran antara agama Hindu aliran Siwa dan Budha, kalau pembaca masih ingat diawal artikel bahwa candi Singosari dibentuk dengan gabungan dua desain, bawah corak Hindu aliran Siwa dan atas bercorak Budha.
Salah satu kepercayaanya terhadap Hindu aliran Siwa-lah yang membuat Sri Kertanagara yakin bahwa masa-masa pemerintahannya adalah termasuk kedalam pembagian jaman menurut agama Hindu yaitu jaman Kaliyuga, intinya jaman penuh kekacauan dan hanya raja yang bepegang teguh terhadap agamalah yang bisa menaklukan jaman Kaliyuga tersebut. Bahkan masyarakat Singosari sangat meyakini betul ketika Sri Kertanagara meninggal bahwa jaman kaliyuga sedang menimpa mereka. Dasar pemikirannya yaitu karena memang dalam kepemerintahanya dihantui oleh segala macam pemberontakan dan ancaman serangan dari Mongol. Tentang Sri Kertanagara mempercayai jaman kaliyuga ini diberitakan oleh Nagarakertagama pupuh ke-42, ke-43 dan ke-44.
Kepercayaan campuran ini membawa dampak yang sungguh luar biasa, masih terasa sampai saat masuknya Agama Islam dan bahkan mungkin sampai sekarang. Silakan pembaca telahah dengan seksama tentang serat-serat yang bermunculan dalam sastra Jawa seperti Serat Wedathama, Serat Bimasonya, Serat Darmogandul dan Serat Gatholoco. Semuanya berisikan campuran berbagai pemahaman, hati-hati memaknainya. Dan itu timbul karena pemahaman yang turun temurun yang diajarkan Sri Kertanagara, cuma situasi yang dihadapinya berbeda. Kisah Sabdo Palon Nayo Genggong, sungguh nyata terlihat ada yang mencoba mengangkat pemahaman campuran seperti itu. Sekali-lagi hati-hati!
Khusus untuk serat Gatholoco yang merupakan karya sastra jawa, berbentuk puisi tembang macapat (sinom) seolah-olah bernafaskan Islam dan ajaran tasawuf yang lebih kearah mistik. Terdapat isi pecakapan atau perdebatan antara Gatholoco dan Dewi Parjiwati. Pembaca kalau paham arti Gatholoco berasal dari Gatho dan Loco pasti meringis sambil pengen ketawa dan itu benar....alias aktivitas seksual laki-laki. Coba liat nama Dewi Parjiwati asal katanya dari Parji (bahasa arab) dan wati yang artinya kelamin perempuan, sampai disini sudah bisa menebak apa isi cerita Gatholoco? jangan senyum-senyum pembaca...akui aja dengan jujur hehehe.
Kembali Lagi. Jina Mahaksobhya sering diartikan sebagai julukan bagi penguasa dari belahan bumi bagian Timur dan itu ditujukan untuk Sri Kertanegara, sedangkan Jenghis khan mendapat julukan Jina Mahamithaba yang berarti pengusa dari belahan bumi bagian barat, ya boleh-boleh saja dipahami seperti itu, tapi Jina bukankah arti lainnya Budha Agung dan ini hanya untuk para penganut agama Budha, sedangkan Jenghis Khan tentu tidak bisa disebut Jina karena kepercayaan yang dianutnya berbeda. Bagi yang memahami sebutan Jina Mahamithaba bagi Jeghis Khan, perlu ditinjau ulang dasarnya.
Patut diingat! Menyatakan
perang, dimasa jaman dulu hingga sekarang pun bukan hal yang bisa dilakukan seacara
serampangan, mentang-mentang jadi raja, tidak semudah itu. Pernyataan perang
haruslah melihat kesiapan materi dan moril dari rakyatnya. Materi sudah cukup,
tapi akan mati konyol kalau moril belum siap. Disinilah peran pemerintah atau
raja dengan segala perangkatnya untuk menempa sekaligus membangkitkan moril bagi pasukan yang akan
berangkat kemedan perang. Biasanya yang menjadi pembangkit dan daya dorong luar
biasa adalah semangat dan sikap keagaman atau sikap religiuslah yang jadi alatnya. Jika
rakyat tidak setuju, apa raja mau perang sendiri? “Manalah mungkin.....”ssstttt
stop! Jangan dilanjut kesananya jadi lagu Obbie Mesakh hehehe, jadi inget jaman
dulu, dipinggir sawah.
Satu hal lagi sebelum lupa, ini
ada pertanyaan, “logika tidak, dengan jumlah pasukan begitu besar beserta kehebohan armadanya yang dikirim
Kubilai Khan, mengapa tidak dicegat ditengah jalan oleh pasukan besar yang
tergabung dalam Ekspedisi Pamalayu?” jawaban penulis, itulah hebatnya
Sangramawijaya atau lebih dikenal sebagai Raden Wijaya dalam mengabil alih lagi
kekuasaan dari Raja Jayakatwang. Strategi menyelam sambil minum air digabung dengan
strategi jebakan harimau. Sekali tepuk dua tiga pulau terlampaui, ehh salah ya,
maksudnya sekali gebug dua target pada ambruk, Jayakatwang dan pasukan Mongol.
Hehehe, manatap...ehh salah, maksudnya
mantap gak kalau gitu Raden Wijaya? Ya mantap donkkk, ya udah dibahas nanti dalam
artikel lain kalau begitu, tentang kehebatan sepak terjang dari Raden Wijaya, raja pertama Majapahit dalam menaklukan tentara Mongol yang selalu digjaya di medan
laga, bukan Medan tempatnya si Butar-Butarrrr atau si Poltak raja minyak dari Medan bahhh, hehehe.
Pelajaran penting! Harap diingat
dan dicatat, model manusia seperti Jayakatwang bukanlah kesatria, dengan ambisi
dan keserakahannya serta picik yang tidak berpandangan jauh kedepan, dia terburu-buru
hanya ingin menikmati kesenangan dan kemenangan sesaat, yang justru
menghantarkan dia kepintu akhirat. Silakan pembaca telaah sendiri simbolisasi peristiwa sejarah kisah ini.
Baik. Pembaca yang budiman
sekian dulu yang bisa penulis sajikan dalam artikel serial prasasti bagian
pertama, mohon do’anya agar penulis cepet dapat ide lagi dengan parasasti-prasasti
yang lainnya. Selain dah pegel nie ngetik mulu hehehe. Semoga bermanfaat! Aminn.
Sekian dan Terima Kasih
Salam Damai Negeriku, Salam
Sejahtera Nusantaraku
Wassalam
Penulis
referensi:
referensi:
- Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhatara
- H. Kern, De Sanskrit-inscriptie van het Mahaksobhya-beeld te Simpang (stad Surabaya, 1211 Saka) VG, VII, 1917, hlm. 187-189.
- Prasasti Wurare, bait ke-3 s.d. ke-6.
- Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto. Sejarah nasional Indonesia II: Zaman kuno, cet. 2 (Edisi Pemutakhiran), Jakarta, Balai Pustaka, 2008. Diakses 24 Februari 2012.
- Wisata Religi: j. Joko Dolog, Situs Resmi Pemerintah Kota Surabaya, www.surabaya.go.id. Diakses 24 Februari 2012.
- Tim Temukan Situs Wura-Wari di Cepu, Ekspedisi Bengawan Solo "Kompas" 2007, edisi Sabtu, 16 Juni 2007.
- de Casparis, J.G., Airlangga, The Threshold of the Second Millennium, IIAS Newsletter Online, No. 18. Diakses 8 Juli 2008.
HUa hahahahahahahaaaa .... kocak tapi bermutu .... selamat berkarya .... hua ahahahaaaa .... sukses untuk Anda
BalasHapusBagus analisanya om
BalasHapus