Jumat, 04 Mei 2012

NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN 2

NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN

IV. Analisa Bahan Materi yang Diajukan

Penandaan waktu tahun saka dalam pupuh 15 bait ke-2 dalam naskah Nagarakertagama dengan memakai metode hitungan candra sengkala didapat sebagai berikut:
1.      Samudra mempunyai indek atau angka 4, sama artinya dengan laut, atau lautan,
2.      nanguษณ mempunyai indek atau angka 2, sama artinya dengan menantang,
3.      bhumi mempunyai indek atau angka 1, sama artinya dengan bumi, daratan.
Maka hitungan candra sengkalanya menjadi 421, yang kemudian prosedur selanjutnya dilakukan pembacaan terbalik, maka hasilnya menjadi 124 tahun saka atau setara dengan 202 Masehi, dan ini sesuai dengan catatan waktu yang disampaikan Theodor Pigeaud dan dan tafsir dari Prof DR Slamet Mulyana “lautan menatang bumi”.

Dalam Tafsir bait secara keseluruhan, pengarang naskah Nagaraketagama menyampaikan berita bahwa Pulau Madura dan Pulau Jawa dulunya terasa dekat, atau mengarah kebersatu, satu pulau bersama, atau satu daratan atau juga masih terpisah oleh lautan tapi dengan permukaan air laut yang tidak begitu dalam, sehingga jarak antara ke 2 pulau tersebut seolah-olah sangat dekat.

A.    Analisa Masa Lampau Abad 1-5 M Nusantara 

Catatan sejarah nusantara, baru dimulai ketika didapat bukti-bukti sejarah yaitu dengan ditemukannya prasasti di Kutai, Kalimantan Timur. prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub, silakan lebih lengkap baca di wikipedia online mengenai catatan sejarah dalam bentuk prasasti tertua di nusantara.

Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya, dalam prasasti itu dituliskan sebagai berikut:

"ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji  panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda".

Terjemahannya menurut Bosch, sebagai berikut:

"Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda". Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angka nam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.

Beberapa ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi (daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig). Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran (sungai) Ciaruteun (100 meter) dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:

"vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam".

Terjemahannya menurut Vogel: "Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara". Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang "pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip "tanda tangan" seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.

Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk bagian tanah swasta Ciampea, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.

Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:

"jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah  airavatabhasya vibhatidam padadavayam".

(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).

Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Terdapat ukiran bendera dan sepasang lebah, yang ditatahkan secara jelas pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan diantara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).

Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris, penulis belum punya data tentang kapan prasasti itu dibuat, bunyinya sebagai berikut:

"shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam-padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam".

Terjemahannya menurut Vogel sebagai berikut:

"Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya".

Terlihat jelas bahwa catan sejarah, dimulai mulai abad ke 6 Masehi, dengan pembuatan prasasti menunjukan tahun 536M, artinya kerjaan Tarumanegara dipredikisi kisaran sebelum abad ke 6 tersebut, sebelum itu tidak ada catatan sejarah sedikitpun mengenai peradaban di tatar Sunda, semisal abad ke 1-5 Masehi. Katakanlah naskah Wangsakerta “pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1” yang mencatat sebelum masa Raja Purnawarman masih terdapat raja-raja sebelumnya yang diawali oleh Jayasingawarman kisaran tahun 358-382 M, dan Dharmayawarman kisaran tahun 382-395 M, artinya lebih lanjut abad ke 1-3 M atau abad sebelum masehi sendiri catatan sejarah kerajaan atau peadaban sunda, bahkan nusantara pada umumnya tidak ada sama sekali. Walau pun naskah Wangsakerta masih menyimpan catatan mengenai masa pada abad 1-3 ini dengan memunculkan kisah Aki Tirem dan kerajaan Salakanagara, tapi dukungan terhadap informasi naskah itu lemah, tidak ada dukungan bukti catatan primer semacam prasasti atau bukti lainnya, dengan demikian untuk sementara masih memakai asumi tidak ada bukti catatan sejarah sebelum abad ke-5 diwilayah tatar sunda khususnya.

Pertanyaanya, apakah benar tidak ada peraban sama sekali, atau tidak kah ada kelompok bangsa yang yang membentuk sebuah kerajaan atau negara sama sekali pada waktu itu atau katakanlah setingkat kerajaan kecil, yang mempunyai struktur kepemerintahan atau dipimpin oleh sekelompok orang yang berkuasa. Apakah Abad itu, abad sangat primitif sehingga tidak ada catatan sejarah sedikit pun.

Hal yang patut diingat bahwa Cina sudah mempunyai catatan sejarah 3000 tahun sebelum Masehi, artinya dokumentasi sejarah sudah ada yang merupakan dokumentasi sejarah paling awal dimuka bumi ini. Apakah dengan keberadaan Cina yang sudah membentuk suatu bangsa yang beradab, dengan pendokumentasian sejarah yang sudah terjadi, sama sekali tidak ada hubugan dengan peradaban di Jawa, atau nusantara pada umumnya kisaran pada awal abad masehi? Sungguh pertanyaan yang tidak ada jawaban, soalnya tidak ada catatan sejarah sama sekali, tidak bisa dibuktikan apapun.

Tapi, setidaknya manusia diberi kelengkapan kecerdasan akal dan pikiran, hal yang sangat mengherankan kalau buku Atlantis dan Eden, terang-terangan menyatakan bahwa di wilayah nusantara sudah terdapat peradaban yang maha tinggi kisaran 11.600 SM, yang disinyalir terdapat kekaisaran agung yang mendunia, lagi melegenda. Asumsikan saja apa yang disampaikan kedua buku itu adalah menuju benar, menunjuk kearah yang ingin dibuktikan tentang keberadaan Atlantis, Surga di timur, tapi pertanyaannya mengapa jejak sejarah itu hanya tercatat ribuan tahun yang silam, bahkan mencapai puluhan ribu tahun yang silam, tetapi mengapa pada kisaran abad awal Masehi tidak ada catatan sejarah, bahkan segaris coretan apapun tidak diketemukan sebagai bukti otentik sejarah pada masa itu? Sekali lagi pertanyaan yang sukar dijawab tentunya, dan sepengetahuan penulis belum pernah ada yang bisa menjawabnya.

Mudah-mudahan apa yang akan disampaikan penulis kedepan dalam lanjutan bahasan artikel ini menjadi bahan pertimbangan bersama, tentang masa sejarah kelam, dalam arti sesungguhnya, sungguh kelam tidak ada pencerahan sejarah sedikit pun tentang awal-abad masehi di Nusantara, tentunya pencerahan itu harus berasal dari adanya bukti sejarah yang bersifat primer, bukan dari dongeng, mitos atau pun kisah rakyat lainnya. Dalam hal ini penulis mencoba unuk merangkainya, walaupun memang hanya dengan metoda utak atik gathuk.

Penulis sering membaca artikel yang membahas tentang asal-usul kerajaan Sunda, era sebelum Kerajaan Tarumanegara, termasuk tentang Aki Tirem dan Kerajaan Salakanagara, dan dasar informasi itu dari naskah Wangsakerta, yang menjadi heran penulis, kok nama Tirem tumpang tindih dengan berita naskah negarakertagama dipupuh 14 bait 1 (satu), “tirm” yang diterjemahkan oleh hampir semua ahli yaitu Tirem, dan Tirem atau Tirun atau Kerajaan Tidung, adanya di Kalimantan Timur pada abad ke 14 M, setara dengan kerajaan Majapahit masa kepemerintahan raja Hayam Wuruk.

Angka 124 tahun saka atau 202 M adalah tahun yang mempunyai prediksi tentang adanya  peristiwa perubahan geografis dan geologi, dan ada beberapa sumber yang mengarahkan penulis untuk mencari informasi mengenai data geologi pada kisaran abad ke 1-5 M, waktu antara yang memberikan peluang yang lebar dari eror penandaan waktu untuk 202 M tersebut.

BAGIAN SELANJUTNYA >>>
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentarlah dengan baik dan sopan. Pasti akan dibalas oleh pemilik. Mohon jangan mengandung unsur kasar dan sara, mari berbagi pengetahuan, silakan kritik karena kritik itu membangun dan membuat sesuatu menjadi lebih baik

Creative Commons License
MENGUAK TABIR SEJARAH NUSANTARA by Ejang Hadian Ridwan is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Based on a work at menguaktabirsejarah.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://menguaktabirsejarah.blogspot.com.