Sabtu, 19 Mei 2012

KERAJAAN MEDANG, PENAKLUK NUSANTARA II

KERAJAAN MEDANG, PENAKLUK NUSANTARA JILID II

ANALISA BAHAN MATERI I

Pada tahun 1990, Antoon Postma, ahli Belanda masalah script kuno, yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di Mangyans, Filipina dan juga sebagai direktur Mangyan & Research Center di Panaytayan, Mansalay, Oriental Mindoro, dia berhasil menerjemahkan dokumen yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Laguna (LCI). Ketika ia melihat prasasti tersebut, hasil pengamatan sebagai seorang ahli bisa merasakan bahwa penulisan script itu hampir mirip dengan script bahasa Jawa kuno yang disebut Kawi, dan penanggalan dokumen tersebut sesuai dengan kalender Saka, ia mendapat bantuan dari sesama ahli Belanda, Dr Johan de Casparis, yang ahli dibidang bahasa Jawa kuno – Kawi juga.

Casparis, dipanggil begitu namanya, menegaskan bahwa script dan kata-kata yang digunakan dalam dokumen prasasti Laguna persis sama dengan script atau kata-kata yang digunakan dalam prasasti-prasasti di pulau Jawa pada penandaan waktu yang tercantum dalam dokumen tersebut, dengan pembacaan tahun saka 822, atau setara dengan 900 tahun Masehi (Common Era, CE).

Selanjutnya pada kisaran tahun 1996, pemerhati sejarah Philipina dari California, Hector Santos, menghitung penanggalan Saka yang dikonversi dengan menggunakan software astronomi, dia menyatakan tegas bahwa penanggalan tahun Saka yang tertulis dalam prasasti menunjukan tepat hari Senin, 21 April 900 M. Lihat nama Santos, apa ada hubungannya denga Prof. Arsyio Santos ya, pengarang buku Atlantis? atau marga Santos ditakdirkan demen bener dalam penelitian sejarah? halah...gak terlalu penting hehehe.

Terlepas dari kemiripan dengan dokumen prasasti-prasasti di Jawa, pelat tembaga tipis itu memiliki beberapa kekhususan yang menyebabkan para ahli dipaksa untuk mempercayai dan yakin untuk mengambil kesimpulan bahwa dokumen prasasti itu bukanlah dari Pulau Jawa.

Pertama, Prasasti Laguna tidak menyebutkan raja Jawa, Medang, pada waktu itu, Raja Dyah Balitung. Soalnya terdapat kebiasaan dan etika pada waktu itu untuk selalu menyebutkan nama raja yang berkuasa dalam setiap dokumen resmi. Biasanya prasasti adalah jenis dokumen resmi pada masa itu, karena tidak sembarangan orang membuatnya.

Kedua, bahasa yang digunakan dalam dokumen itu tidak hanya Sanskerta. Ini adalah campuran dari bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, Melayu Lama dan Tagalog Lama.

Ketiga, metode penulisan berbeda. Pada waktu itu di Jawa karakter tulisan terkesan dengan memanaskan tembaga tehnik melebur dan mencetak logam, tetapi karakter pada pelat tembaga tipis pada prasasti Laguna tampaknya dibuat dengan cara  dipalu dengan menggunakan tembaga dingin, bukan dengan tehnik dilebur dan dicetak.

Dalam pemeriksaan isi materi tulisan, Antoon Postma meyatakan bahwa prasasti itu merupakan pengampunan dari Kepala Daerah Tondo untuk menghapus utang seorang pria bernama Namwaran. Utangnya adalah salah satu kati dan delapan Suwarna, atau sekitar 926,4 gram emas. Coba pembaca hitung dalam rupiah untuk harga emas tahun sekarang, 2012, teramat besarkan? Hadoooh lumayan juga tuh kalau punya emas segitu.

Dokumen tersebut huga (kok huga, juga kaleee?) disebutkan beberapa kota yang masih ada sekarang: Tundun, yang sekarang Tondo kalau dalam sebutan bahasa Jawa, tiga kota lainya di Bulakan; Pailah atau Paila, Puliran atau Pulilan, dan Binwangan atau Binangan. Sebuah kota di Agusan del Norte di Mindanao disebut Dewata atau Diwata juga muncul dalam teks. Diwata juga dekat dengan Butuan, yang telah diteliti banyak sumber artefak kuno ditemukan disana.

Tulisan diatas hanyalah sebagai wawasan, tapi juga bisa dipergunakan bahan untuk memastikan keabsyahan dari prasasti tersebut, padahal inti analisa yang mau diajukan penulis adalah mengenai petikan dari isi prasasti tersebut, yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:

“Oleh karena kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang.”

Terlihat jelas dan tidak bisa dipungkiri, dikalimat teks tersebut terungkap “Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang”, dan kerajaan Medang tiada lain adalah kerajaan yang berada di tatar Jawa pada abad kisaran ke-7 sampai ke-10 Masehi. Kalau disetarakan bahwa benar dugaan sementara dari Antoon Postma dan kawan-kawan yaitu mengenai raja Medang pada saat itu yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu. Gelar maharaja bukan sembarangan gelar, selain menguasai daerah reguler atau dengan sendirinya tataran Jawa, Madura dan Bali, biasanya gelar kemaharajaan cakupanya jauh lebih luas, ini pula gelar yang dipakai oleh raja-raja sebelumnya yang menguasai nusantara seperti halnya Sriwijaya dan selanjutnya seperti raja Kertanegara (singosari) dan Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk). Maharaja bisa diartikan sebagai raja diraja, raja yang menjadi raja dari sekian jumlah raja-raja (menunjukan banyak raja) yang lain, halahhh kata "raja" banyak bener, hati-hati bacanya...untung grup musik Raja gak ikut-ikutan hehehe.

Dengan pernyataan “yang telah diklaim oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang”,  artinya “Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari Binwangan” atau “Sang Pemegang Pimpinan di Tundun (Tondo sekarang), diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah (Pila sekarang), Jayadewa” telah tunduk dan mengakui kekuasaan raja Medang (Mataram Kuno - Hindu), ini informasi penting dari si pembuat prasasti. Dewata disana tidak relevan dengan nama tempat diwata, karena menunjukan asal mula raja besar Medang, karena tidak ada data lain yang menunjukan adanya kerajaan bernama Dewata didaerah tersebut. Setidaknya ini adalah awal dari sebuah hipotesa sejarah menurut penulis, yang memerlukan kajian lebih lanjut. lanjuttt....satu halaman lagi, tanggung, Suer!

Creative Commons License
MENGUAK TABIR SEJARAH NUSANTARA by Ejang Hadian Ridwan is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.
Based on a work at menguaktabirsejarah.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at http://menguaktabirsejarah.blogspot.com.