ANALISA BAHAN MATERI I
Pada tahun
1990, Antoon Postma, ahli Belanda masalah script kuno, yang sebagian besar
hidupnya dihabiskan di Mangyans, Filipina dan juga sebagai direktur Mangyan
& Research Center di Panaytayan, Mansalay, Oriental Mindoro, dia berhasil
menerjemahkan dokumen yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Laguna (LCI).
Ketika ia melihat prasasti tersebut, hasil pengamatan sebagai seorang ahli bisa
merasakan bahwa penulisan script itu hampir mirip dengan script bahasa Jawa
kuno yang disebut Kawi, dan penanggalan dokumen tersebut sesuai dengan kalender
Saka, ia mendapat bantuan dari sesama ahli Belanda, Dr Johan de Casparis, yang
ahli dibidang bahasa Jawa kuno – Kawi juga.
Casparis,
dipanggil begitu namanya, menegaskan bahwa script dan kata-kata yang digunakan
dalam dokumen prasasti Laguna persis sama dengan script atau kata-kata yang
digunakan dalam prasasti-prasasti di pulau Jawa pada penandaan waktu yang
tercantum dalam dokumen tersebut, dengan pembacaan tahun saka 822, atau setara
dengan 900 tahun Masehi (Common Era, CE).
Selanjutnya
pada kisaran tahun 1996, pemerhati sejarah Philipina dari California, Hector
Santos, menghitung penanggalan Saka yang dikonversi dengan menggunakan software
astronomi, dia menyatakan tegas bahwa penanggalan tahun Saka yang tertulis
dalam prasasti menunjukan tepat hari Senin, 21 April 900 M. Lihat nama Santos,
apa ada hubungannya denga Prof. Arsyio Santos ya, pengarang buku Atlantis? atau
marga Santos ditakdirkan demen bener dalam penelitian sejarah? halah...gak
terlalu penting hehehe.
Terlepas
dari kemiripan dengan dokumen prasasti-prasasti di Jawa, pelat tembaga tipis
itu memiliki beberapa kekhususan yang menyebabkan para ahli dipaksa untuk
mempercayai dan yakin untuk mengambil kesimpulan bahwa dokumen prasasti itu
bukanlah dari Pulau Jawa.
Pertama,
Prasasti Laguna tidak menyebutkan raja Jawa, Medang, pada waktu itu, Raja Dyah
Balitung. Soalnya terdapat kebiasaan dan etika pada waktu itu untuk selalu
menyebutkan nama raja yang berkuasa dalam setiap dokumen resmi. Biasanya prasasti
adalah jenis dokumen resmi pada masa itu, karena tidak sembarangan orang
membuatnya.
Kedua,
bahasa yang digunakan dalam dokumen itu tidak hanya Sanskerta. Ini adalah
campuran dari bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, Melayu Lama dan Tagalog Lama.
Ketiga,
metode penulisan berbeda. Pada waktu itu di Jawa karakter tulisan terkesan
dengan memanaskan tembaga tehnik melebur dan mencetak logam, tetapi karakter
pada pelat tembaga tipis pada prasasti Laguna tampaknya dibuat dengan cara
dipalu dengan menggunakan tembaga dingin, bukan dengan tehnik dilebur dan
dicetak.
Dalam
pemeriksaan isi materi tulisan, Antoon Postma meyatakan bahwa prasasti itu
merupakan pengampunan dari Kepala Daerah Tondo untuk menghapus utang seorang
pria bernama Namwaran. Utangnya adalah salah satu kati dan delapan Suwarna,
atau sekitar 926,4 gram emas. Coba pembaca hitung dalam rupiah untuk harga emas
tahun sekarang, 2012, teramat besarkan? Hadoooh lumayan juga tuh kalau punya
emas segitu.
Dokumen
tersebut huga (kok huga, juga kaleee?) disebutkan beberapa kota yang masih ada
sekarang: Tundun, yang sekarang Tondo kalau dalam sebutan bahasa Jawa, tiga
kota lainya di Bulakan; Pailah atau Paila, Puliran atau Pulilan, dan Binwangan
atau Binangan. Sebuah kota di Agusan del Norte di Mindanao disebut Dewata atau
Diwata juga muncul dalam teks. Diwata juga dekat dengan Butuan, yang telah
diteliti banyak sumber artefak kuno ditemukan disana.
Tulisan
diatas hanyalah sebagai wawasan, tapi juga bisa dipergunakan bahan untuk
memastikan keabsyahan dari prasasti tersebut, padahal inti analisa yang mau
diajukan penulis adalah mengenai petikan dari isi prasasti tersebut, yang sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:
“Oleh karena
kesetiaannya dalam berbakti, Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur dari
Binwangan mengakui semua kerabat Namwaran yang masih hidup, yang telah diklaim
oleh Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang.”
Terlihat
jelas dan tidak bisa dipungkiri, dikalimat teks tersebut terungkap “Sang Penguasa Dewata, yang diwakili oleh
Sang Penguasa Medang”, dan kerajaan Medang tiada lain adalah kerajaan yang
berada di tatar Jawa pada abad kisaran ke-7 sampai ke-10 Masehi. Kalau
disetarakan bahwa benar dugaan sementara dari Antoon Postma dan kawan-kawan
yaitu mengenai raja Medang pada saat itu yang bergelar Sri Maharaja Rakai
Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu. Gelar maharaja bukan
sembarangan gelar, selain menguasai daerah reguler atau dengan sendirinya
tataran Jawa, Madura dan Bali, biasanya gelar kemaharajaan cakupanya jauh lebih
luas, ini pula gelar yang dipakai oleh raja-raja sebelumnya yang menguasai
nusantara seperti halnya Sriwijaya dan selanjutnya seperti raja Kertanegara
(singosari) dan Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk). Maharaja bisa diartikan sebagai
raja diraja, raja yang menjadi raja dari sekian jumlah raja-raja (menunjukan
banyak raja) yang lain, halahhh kata "raja" banyak bener, hati-hati
bacanya...untung grup musik Raja gak ikut-ikutan hehehe.
Dengan
pernyataan “yang telah diklaim oleh Sang
Penguasa Dewata, yang diwakili oleh Sang Penguasa Medang”, artinya “Sang Tuan (Yang Terhormat) yang termasyhur
dari Binwangan” atau “Sang Pemegang Pimpinan di Tundun (Tondo sekarang),
diwakili oleh Sang Tuan Nayaka dari Pailah (Pila sekarang), Jayadewa” telah
tunduk dan mengakui kekuasaan raja Medang (Mataram Kuno - Hindu), ini informasi
penting dari si pembuat prasasti. Dewata disana tidak relevan dengan nama
tempat diwata, karena menunjukan asal mula raja besar Medang, karena tidak ada
data lain yang menunjukan adanya kerajaan bernama Dewata didaerah tersebut.
Setidaknya ini adalah awal dari sebuah hipotesa sejarah menurut penulis, yang
memerlukan kajian lebih lanjut. lanjuttt....satu halaman lagi, tanggung, Suer!