POLA HUBUNGAN KERAJAAN
MAJAPAHIT & SUNDA
Analisa Data
Nama Yawana yang ada, dinyatakan bahwa salah
satu negara yang statusnya bersahabat dengan kerajaan Majapahit. Kalau Yawana
itu ditujukan untuk nama kerajaan di India barat, tidaklah berdasar karena
istilah nusantara tidak menjangkau ke wilayah tersebut.
Istilah nusantara sendiri sering diartikan
sebagai gabungan antara negera-negara taklukan atau kerajaan bawahan dengan
negara-negara "asing" yang statusnya sebagai negara sahabat kerajaan
Majapahit. Sekali lagi istilah negara asing atau negara sahabat bukan didasarkan
oleh letak jauh tapi atas dasar setatusnya yang bukan negara taklukan atau
bawahan kerajaan Majapahit.
Yawana dalam hal ini adalah diduga sebuah nama
negara sebutan yang terdiri dari beberapa kerajaan yang masih dalam kawasan
yang dekat, tentunya dengan kerajaan Majapahit, dilihat dari nafas kalimat
petikan tersebut, dikuatkan tidak adanya nama-nama kerajaan dipulau Jawa yang
disebut satu pun, di petikan pupuh kitab Negara Kertagama sebelumnya.
“.......Yawana
ialah negara sahabat.
Pulau Madura tidak dipandang negara asing. Karena sejak dahulu menjadi
satu dengan Jawa. Konon dahulu Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat
jauh.”,
Pernyataan yang diimbangi secara adil dan rata,
adanya hubungan bolak balik antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya,
dan dengan ada pernyataan lanjutan tentang keberadaan serta status pulau
Madura, juga seirama dengan pertanyaan umum mengenai keberadaan nama
kerajaan-kerajaan di tatar Sunda yang tidak ada di daftar negara-negara yang
berada dibawah kekuasaan Majapahit menurut keterangan dari isi kitab Negara
Kertagama.
Si pembuat atau pengarang kitab Negara Kertagama
adalah sudah barang tentu seorang satrawan mumpuni yang luas wawasannya,
menjangkau pengetahuan sejarah masa lampau menurut ukurannya, dan untuk
menyebutkan nama kerajaan-kerajaan ditatar Sunda atau kerajaan-kerajaan Jawa
secara keseluruhan, dan dengan ada hubungan emosional kedekatan serta
persaudaraan dari rangkaian sejarah sjauh sebelumnya, tentunya panggilan atau
sebutan bagi kerajaan-kerajaan ditatar Sunda dan Jawa haruslah memakai istilah
tersirat.
Hal yang sama kalau dimisalkan penyebutan nama
keluarga, atau teman atau orang yang sudah mempunyai hubungan kedekatan dengan
meminjam biasanya meminjam nama anaknya seperti : bapak si Pulan, Ibu si Siti,
atau sebutan seorang anak kepada babaknya ketika dia juga sudah punya anak
"kakek si Badu, Nenenk si Intan" dan lain sebagainya, istilah lain
untuk menghindari pernyataan nama langsung sebagai tanda penghormatan.
Bukti sastrawan ini mempunyai pengetahuan dimasa
lampau dengan adanya petikan kitab Negara Kertagama ".......Karena
sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang bumi,
itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh." ,
kalau saja pengarang buku atlanstis tahu kalimat itu dari kitab Negara
Kertagama, bisa jadi kitab ini dijadikan rujukan, soalnya ada penanggalan waktu
disitu "tahun Saka lautan menantang bumi" yang secara harfiah
bisa diartikan ketika permukaan air laut naik mengenangi daratan. Ini sangat
sejalan dengan penelitian, analisa dan teori-teori buku Atlantis karya Prof.
Santos (nama panggilan pengarang buku Atlantis). Mohon maaf penulis belum bisa
mengartikan arti "lautan menantang bumi" sebagai angka
tahun kisaran untuk sekala perhitungan saka.
Hal ini juga sama dengan sebutan untuk nama
Yawana, dipakai untuk menerangkan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, tapi
meminjam istilah asal usul orang masyarakat Sunda dan Jawa secara keseluruhan
karena merasa ada kesamaan jalur keturunan, terdapat rasa persaudaraan yang
kental. Karena secara sejarah, masyarakat Sunda lebih awal mulai terdeteksi
sebagai asal usul keturunan pertama, dilhat dari historis kerajaan-kerjaan di
tatar Sunda dan Jawa bagian timur tentunya.
Nama Yawana, menurut penulis arahnya ini merujuk
untuk sebuah nama lain, diduga yaitu kerajaan-kerajaan Sunda. Sumber terakhir
yang menerangkan secara linguistik bahwa Java atau Jawa dan erat kaitannya
dengan bahasa Javana atau Yavana atau Yawana yang berasal dari negeri India,
lebih jauh dalam buku Atlantis ini istilah Yawana yang dimaksud adalah langsung
menunjuk pulau Jawa (Pulau putih tempat asalnya bangsa atau ras berkulit
putih), dan bukan dimaksudkan untuk nama asli sebutan kumpulan suku gabungan
Yunani-India.
Dengan demikian, Yawana dalam kitab Negara
Kertagama sebenarnya menunjukan untuk negara-negara atau kerajaan-kerajaan di
Pulau Jawa secara keseluruhan bukan hanya kerajaan-kerajaan Sunda, artinya
semua kerajaan yang termasuk dalam kelompok dan berada di Pulau Jawa itu adalah
kerajaan sahabat, terkecuali memang daerah bawahan yang dari semula yang sudah
menjadi negara bagian dari Kerajaan Majapahit.
Dilihat dari maksudnya, Yawana lebih kearah
kerajaan-kerajaan ditatar Sunda, dilihat dari pengecualian tentang
kerajaan-kerajaan dipulau Jawa yang sudah termasuk secara fakta teritorial ke
wilayah kerajaan Majapahit. Dengan demikian Yawana sudah barang tentu secara
cakupan dan khusus untuk kasus ini, dapat diambil kesimpulan atas dasar
analisa-analisa diatas bahwa Yawana merujuk terhadap kerajaan-kerajaan di
tatar Sunda, dan yang mewakili kerjaaan gabungan di tatar Sunda pada
waktu itu adalah kerajaan Sunda Galuh.
Kecuali ada bukti lain yang menerangkan
identitas tentang kerajaan Yawana yang sebenarnya. Maka dengan demikian
pernyataan tentang negara Yawana yang disebutkan dalam kitab Negara Kertagama
adalah nama untuk sebutan kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, alasan-alasan sudah
dijelaskan diatas, bisa jadi mendekati atau mirip arah arahnya untuk kerajaan
Sunda Galuh yang dimaksud itu, kerajaan yang merupakan gabungan
kerajaan-kerajaan di tatar Sunda, setelah melihat dari beberapa sumber yang
korelasinya sama.
Bantahan tentang keberadaan benua di Indonesia (dari Awang H. Satyana, Geolog)http://rovicky.wordpress.com/2009/11/27/benua-geologi-benua-sejarah-benua-khayalan/
BalasHapusAntitesis-Antitesis Geologi”. Pada intinya, Prof. Santos menyamakan
penenggelaman Sundaland sebagai penenggelaman Atlantis. Hanya, mekanisme
penenggelaman itu bukan karena siklus deglasiasi, tetapi karena letusan
rangkaian gunungapi dari India sampai Jawa termasuk Toba dan Krakatau yang
terjadi pada 11.600 tahun yang lalu. Air laut naik sampai 130 meter pada
saat itu menenggelamkan seluruh Sundaland. Pendapat ini sama-sekali tak
punya bukti geologi dan ngawur secara kronologi. Toba terakhir meletus hebat
sebagai sebuah supervolcano pada 74.000 tahun yang lalu dan letusan pertama
Krakatau terjadi pada 416 M, itulah bukti-bukti geologi yang kita punya.
Sundaland
> memang pernah tenggelam akibat air laut naik secara signifikan, tetapi
itu terjadi pada 14.600-14.300 tahun yang lalu. Kenaikan selama 300 tahun
itu menaikkan air laut sampai 16 meter, atau 5,3 cm per tahun (Lihat
publikasi-publikasi terbaru dari Hanebuth et al., 2000, Rapid Flooding of
the Sunda Shelf: A Late-Glacial Sea-Level Record. Science. v. 288, no. 5468,
pp. 1033-1035 dan Hanebuth et al., 2004, Depositional sequences on a late
Pleistocene–Holocene tropical siliciclastic shelf (Sunda Shelf, southeast
Asia). Journal of Asian earth Science. v. 23, pp. 113-126). Bagaimana Prof.
Santos bisa mengatakan bahwa airlaut naik sampai 130 meter hanya dalam satu
tahun ? Mekanisme letusan volkanik menyebabkan deglasiasi pun tak kita kenal
dalam geologi, justru volkanisme dalam banyak kasus menyebabkan winter
volcanic. Secara dimensi pun, tsunami sehebat apa pun tak akan
menenggelamkan Sundaland secara sekaligus. Tsunami Krakatau 1883 hanya
menyebabkan
> tsunami di sekitar pantai Lampung, Banten dan sedikit Jakarta. Itu saja.
Kemudian, Selat Sunda itu sudah terbentuk sejak Miosen Akhir saat Pulau Jawa
melakukan rotasi anti-clockwise dan Sumatra melakukan rotasi clockwise. Ini
telah ada bukti pengukuran paleomagnetikya (antara lain lihat publikasi
Ngkoimi et al., 2006 untuk Jawa, dan Ninkovich, 1976 untuk Sumatera).
Akibatnya, Selat Sunda membentuk celah segitiga menyempit ke timurlaut
melebar ke baratdaya. Retakan ini menyebabkan banyak sesar-sesar di sekitar
Selat Sunda dan salah satu perpotongan sesar itu diduduki Krakatau. Bukanlah
Krakatau yang meretakkan Selat Sunda pada 11.600 tahun yang lalu. Maka, saya
pun tak bisa menerima pendapat Prof. Santos bahwa Indonesia itu Atlantis,
tak ada bukti2 geologi ditemukan di bukunya, dan cara Prof. Santos
menerangkan geologi di dalam bukunya tidaklah nalar, paling tidak bukan
mekanisme2 yang dikenal di dalam main stream geological sciences.