DUSTA SEJARAH KISAH KEN AROK, PERANG BUBAT & SUMPAH
PALAPA
Analisa Isi Identitas Pembuat Kitab Pararaton
Analisa lainya yang bisa menjawab
pertanyaan-pertanyaan diatas yaitu mengenai perihal status dan motif yang
mendasari kitab ini ditulis. Diakhir naskah kitab Pararaton terdapat petikan
sebagai berikut :
"Demikian
itulah kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa Sela Penek,
pada tahun saka: Keinginginan Sifat Angin Orang, atau: 1535.
Diselesaikan
ditulis hari Pahing, Sabtu, minggu Warigadyan, tanggal dua, tengah bulan
menghitam, bulan kedua.
Semoga
ini diterima baik oleh yang berkenan membaca, banyak kekurangan dan kelebihan
huruf hurufnya, sukar dinikmati, tak terkatakan berapa banyaknya memang rusak,
memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap luap berhubung baharu saja
belajar.
Semoga
panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga selamat
bahagia, juga sipenulis ini."
Kalau dilihat dari tahun saka 1535, tahun yang
dinyatakan sebagai perlambang "Keinginginan
Sifat Angin Orang", dan bisa jadi ini adalah
bahasa isyarat (secret code) yang ingin coba disampaikan
pengarang untuk menyatakan bahwa ketika dia menulis pada dasarnya adalah atas
dasar perintah atau keinginan orang lain, yaitu dengan mencoba menafsirkan
maksud dari "sifat arah angin" yang bisa saja dapat diartikan bahwa
tulisannya yang dibikin, harus berdasarkan keinginan seseorang, sekelompok orang
atau pihak tertentu.
Si
pengarang memberi tanda atau kode isyarat sebagai informasi tersirat, karena
bisa jadi apa yang ditulis merupakan kebohongan besar atau jauh dari kebenaran,
walau pun ada fakta sejarah yang sama, disitu juga pengarang ingin memberitahukan bahwa dia bukanlah penulis yang layak.
keterbatasan
keilmuan
dan sumber sejarah yang dimiliknya, yang juga
dalm kondisi masih dalam tarap belajar atau baru saja
mempelajarinya, ini artinya memang dia sadar apa yang ditulis dengan kemampuann yang dimilikya itu akan banyak celah untuk dipertanyakan kebenaranya.
Tapi
kemampuan dia paling utama yang sangat diperlukan pada waktu itu adalah
kemampuan menulis, membaca dan berbahasa satra kuno, sesuai dengan tujuan yang
diperlukan oleh untuk kitab itu supaya kelihatan bukan hal yang direkayasa.
Kata-kata
terakhir adalah ucapan doa panjang umur, seolah-olah bahwa ada bayang-bayang
ketakutan, bahwa dengan menulis kitab Pararaton itu dia sadar akan resiko yang
akan dihadapi setelahnya. Bisa jadi si pengarang dibawah bayang-bayang ancaman
kematian, yaitu dari pihak yang menyuruh.
Hal
ini sejalan dengan teori pembuktian, maksudnya untuk menghilangkan jejak,
karena si pengarang tahu bahwa ada kepentingan besar atas kebohongan sejarah
yang dibuat, sehingga kata-kata " juga si penulis ini" pada
akhir kalimat adalah penegasan dari doa panjang umur yang dia panjatkan diawal
kalimat, kemungkinan ini timbul akibat rasa ketakutan itu.
"Demikian
itulah kitab tentang para datu” petikan ini sering diartikan, bahwa kitab
Pararaton sebagai kitab yang berisi kisah para raja Wangsa Rajasa. Kata “datu”
sendiri tidaklah biasa digunakan oleh orang-orang yang mempunyai latar belakang
kesukuan Sunda atau Jawa, ini adalah istilah dalam bahasa Melayu.
Terlihat bahasa sastra yang digunakan adalah
bahasa campuran bukan bahasa asli, dan bahasa campuran dengan melayu hanya
terjadi pada abad-abad yang belum lama. Bisa jadi ini untuk mengkaburkan dan
memberikan alibi bahwa orang Melayu yang membuat, tehnik memberikan jejak
palsu.
Untuk sementara itu yang bisa disampaikan
penulis, nanti lebih jauh akan dibahas mengenai urutan waktu mulai dari
penemuan dan asal muasal kitab Pararaton ini diterbitkan. Urutan waktu dan asal
usul kitab bisa dijadikan bahan untuk menhanalisa lebih jauh, latar belakang
pembuatan dan kesimpulan yang merupakan justifikasi tentang kitab Pararaton
ini.
saya juga tidak yakin dengan kitab pararaton, karena selain penulisannya setelah Majapahit runtuh, sepertinya penulis tidak netral.
BalasHapusSepertinya penulis tidak bisa lepas dari egonya.
Terlihat sepertinya penulis tidak suka dengan beberapa tokoh dalam kitab tersebut, seperti Ken Arok, atau Jayanegara (yang disebutnya Kalagemet).
Tapi saya juga meragukan Negara Kertagama, karena isinya adalah kidung puja untuk raja. Jadi tidak netral.
Apalagi tentang klaim kekuasaan Majapahit atas Nusantara. Sampai sekarang belum ada bukti tertulis lain selain Negara Kertagama. Majapahit pun tidak meninggalkan prasasti di luar pulau Jawa.
Sekali lagi, sejarah ditulis oleh pemenang, sehingga terkadang tidak objektif, pasti ada bumbu-bumbu yang melebihkan dan mengurangkan.
BalasHapusDilihat dari periode dan geografisnya, Sunda dan Jawa berkorelasi satu sama lainnya. Sejarah Sunda mempengaruhi sejarah Jawa, terutama pada masa awal kerajaan Hindu/Budha terbentuk, dan Sejarah Jawa mempengaruhi sejarah Sunda, terutama pada masa kerajaan/kesultanan Islam.
Sunda dan Jawa berasal dari satu sejarah, tidak seharusnya saling tidak menyukai atau merasa paling dominan. Keengganan Majapahit untuk mengusai kerajaan Sunda, atau tidak memasukkan Sunda kedalam kekuasaan Majapahit, bisa jadi karena ada korelasi kekerabatan atau sejarah masa lalu diantara mereka.
Kolaborasi antara Sunda dan Jawa telah menghasilkan salah satu negara terbesar di dunia, yaitu Indonesia. Dengan kepemimpinan Jawa yang bisa mengayomi seluruh suku bangsa di Nusantara, dan kerendahan hati Sunda mendukung tanpa harus menjadi pucuk pimpinan dan menyediakan tanahnya untuk dijadikan ibukota negara, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi negara besar yang kuat dan disegani. Dalam kontek Indonesia, tidak bisa dikesampingkan juga peran suku bangsa lain di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dll.
Admin Penulis,
BalasHapusKutipan teks diatas,
"Kata-kata terakhir adalah ucapan doa panjang umur, seolah-olah bahwa ada bayang-bayang ketakutan, bahwa dengan menulis kitab Pararaton itu dia sadar akan resiko yang akan dihadapi setelahnya. Bisa jadi si pengarang dibawah bayang-bayang ancaman kematian, yaitu dari pihak yang menyuruh."
Apakah suatu doa panjang umur berarti orang yang mengucapkan ada dalam ketakutan?
Orang mendoakan panjang umur kepada orang yng berulang tahun misalnya, mestinya bukan dalam rangka takut, tapi berdoa dan berharap kepada yang didoakan agar berusia panjang.
Dari naskah Pararaton bagian 32 (akhir) berbunyi,
"Om Dirghayuh Astu Tat astu Astu, Om Subham Astu kintu Sang Anyurat".
Ucapan Om Dirghayur Astu tat Astu dan Om Subham Astu" jelas hanya berupa doa dan harapan kepada siapa pun yang membaca dan juga kepada Sang penyusun sendiri.
Ini adalah doa yang biasa digunakan oleh Umat Hindu sampai sekarang. Tidak ada nada ketakutan disitu.
Jadi tulisan simpulan diatas murni pendapat atau opini Anda saja.