KITAB NEGARA KERTAGAMA
PUPUH XXIV- XCVIII
Pupuh LXXIV
1.
Makam rani :
Kamal Pandak, Segala, Simping, Sri Ranggapura serta candi Budi Kuncir, Bangunan
baru Prajnyaparamitapuri, Di Bayalangu yang baru saja dibangun.
2.
Itulah dua
puluh tujuh candi raja, Pada Saka tujuh guru candra (1287) bulan Badra, Dijaga
petugas atas perintah raja, Diawasi oleh pendeta ahli sastra.
Pupuh LXXV
1.
Pembesar yang
bertugas mengawasi seluruhnya sang Wiradikara, Orang utama, yang saksama dan
tawakal membina semua candi, Setia kepada Baginda, hanya memikirkan kepentingan
bersama, Segan mengambil keuntungan berapa pun penghasilan candi makam.
2.
Desa-desa
perdikan ditempatkan di bawah perlindungan Baginda, Darmadyaksa kasewan
bertugas membina tempat ziarah dan pemujaan, Darmadyaksa kasogatan disuruh
menjaga biara kebudaan, Menteri her-haji bertugas memelihara semua pertapaan.
Pupuh LXXVI
1.
Desa perdikan
Siwa yang bebas dari pajak: biara relung Kunci, Kapulungan, Roma, Wwatan,
Iswaragreha, Palabdi, Tanjung, Kutalamba, begitu pula Taruna, Parhyangan, Kuti
Jati, Candi Lima, Nilakusuma, Harimandana, Uttamasuka, Prasada-haji, Sadang,
Panggumpulan, Katisanggraha, begitu pula Jayasika.
2.
Tak
ketinggalan: Spatika, Yang Jayamanalu, Haribawana, Candi Pangkal, Pigit,
Nyudonta, Katuda, Srangan, Kapukuran, Dayamuka, Kalinandana, Kanigara, Rambut,
Wuluhan, Kinawung, Sukawijaya, dan lagi Kajaha, demikian pula, Campen,
Ratimanatasrama, Kula, Kaling, ditambah sebuah lagi Batu Putih,
3.
Desa perdikan
kasogatan yang bebas dari pajak: Wipulahara, Kutahaji, Janatraya, Rajadanya,
Kuwanata, Surayasa, Jarak, Lagundi, serta Wadari, Wewe Pacekan, Pasaruan, Lemah
Surat, Pamanikan, Srangan serta Pangiketan, Panghawan, Damalang, Tepasjita,
Wanasrama, Jenar, Samudrawela dan Pamulang.
4.
Baryang,
Amretawardani, Wetiwetih, Kawinayan, Patemon, serta Kanuruhan, Engtal, Wengker,
Banyu Jiken, Batabata, Pagagan, Sibok dan Padurungan, Pindatuha, Telang,
Suraba, itulah yang terpenting, sebuah lagi Sukalila, Tak disebut perdikan
tambahan seperti Pogara, Kulur, Tangkil dan sebagainya.
Pupuh LXXVII
1.
Selanjutnya
disebut berturut desa kebudaan Bajradara: Isanabajra, Naditata, Mukuh, Sambang,
Tanjung, Amretasaba, Bangbang, Bodimula, Waharu Tampak, serta Puruhan dan
Tadara, Tidak juga terlangkahi Kumuda, Ratna serta Nadinagara,
2.
Wungajaya,
Palandi, Tangkil, Asahing, Samici serta Acitahen, Nairanjana, Wijayawaktra,
Mageneng, Pojahan dan Balamasin, Krat, Lemah Tulis, Ratnapangkaya, Panumbangan,
serta Kahuripan, Ketaki, Telaga Jambala, Jungul ditambah lagi Wisnuwala.
3.
Badur, Wirun,
Wungkilur, Mananggung, Watukura serta Bajrasana, Pajambayan, Salanten,
Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Pohaji, Wangkali, Biru, Lembah, Dalinan,
Pangadwan yang terakhir, Itulah desa kebudaan Bajradara yang sudah berprasasti.
Pupuh LXXVIII
1.
Desa keresian
seperti berikut: Sampud, Rupit dan Pilan, Pucangan, Jagadita, Pawitra, masih
sebuah lagi Butun, Di situ terbentang taman, didirikan lingga dan saluran air,
Yang Mulia Mahaguru—demikian sebutan beliau.
2.
Yang diserahi
tugas menjaga sejak dulu menurut piagam, Selanjutnya desa perdikan tanpa candi,
di antaranya yang penting: Bangawan, Tunggal, Sidayatra, Jaya Sidahajeng, Lwah
Kali dan Twas, Wasista, Palah, Padar, Siringan, itulah desa perdikan Siwa.
3.
Wangjang,
Bajrapura, Wanara, Makiduk, Hanten, Guha dan Jiwa, Jumpud, Soba, Pamuntaran,
dan Baru, perdikan Buda utama, Kajar, Dana Hanyar, Turas, Jalagiri, Centing,
Wekas, Wandira, Wandayan, Gatawang, Kulampayan dan Talu, pertapaan resi.
4.
Desa perdikan
Wisnu berserak di Batwan serta Kamangsian, Batu, Tanggulian, Dakulut, Galuh,
Makalaran, itu yang penting, Sedang, Medang, Hulun Hyan, Parung, Langge,
Pasajan, Kelut, Andelmat, Paradah, Geneng, Panggawan, sudah sejak lama bebas
pajak.
5.
Terlewati
segala dukuh yang terpencar di seluruh Jawa, Begitu pula asrama tetap yang
bercandi serta yang tidak, Yang bercandi menerima bantuan tetap dari Baginda
raja, Begitu juga dukuh pengawas, tempat belajar upacara.
Pupuh LXXIX
1.
Telah diteliti
sejarah berdirinya segala desa di Jawa, Perdikan, candi, tanah pusaka, daerah
dewa, biara dan dukuh, Yang berpiagam dipertahankan; yang tidak segera
diperintahkan, Pulang kepada dewan desa di hadapan Sang Arya Ranadiraja.
2.
Segenap desa
sudah diteliti menurut perintah Raja Wengker, Raja Singasari bertitah mendaftar
jiwa serta seluk-salurannya, Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada
aturan, Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Baginda raja.
3.
Semua tata
aturan patuh diturut oleh pulau Bali, Candi, asrama, pesanggrahan telah diteliti
sejarah tegaknya, Pembesar kebudaan Badahulu, Badaha Lo Gajah ditugaskan,
Membina segenap candi, bekerja rajin dan mencatat semuanya.
Pupuh LXXX
1.
Perdikan
kebudayaan Bali sebagai berikut; biara Baharu (hanyar), Kadikaranan,
Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan, Itulah enam kebudayaan Bajradara,
biara kependetaan, Terlangkahi biara dengan bantuan negara seperti Arya-dadi.
2.
Berikut candi
makam di Bukit Sulang, Lemah Lampung, dan Anyawasuda, Tatagatapura,
Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas piagam, Pada tahun Saka angkasa rasa
surya (1260) oleh Sri Baginda Jiwana, Yang memberkahi tanahnya, membangun
candinya: upasaka wreda mentri.
3.
Semua perdikan
dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri, Terjaga dan terlindungi segala
bagunan setiap orang budiman, Begitulah tabiat raja utama, berjaya, berkuasa,
perkasa, Semoga kelak para raja sudi membina semua bangunan suci.
4.
Maksudnya agar
musnah semua durjana dari muka bumi laladan, Itulah tujuan melintas, menelusur
dusun-dusun sampai ke tepi laut, Menenteramkan hati pertapa yang rela tinggal
di pantai, gunung dan hutan, Lega bertapa brata dan bersamadi demi
kesejahteraan negara.
Pupuh LXXXI
1.
Besarlah minat
Baginda untuk tegaknya tripaksa, Tentang piagam beliau bersikap agar tetap
diindahkan, Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya, Laku utama,
tata sila dan adat-tutur diperhatikan.
2.
Itulah sebabnya
sang caturdwija mengejar laku utama, Resi, Wipra, pendeta Siwa Buda teguh
mengindahkan tutur, Catur asrama terutama catur basma tunduk rungkup tekun,
Melakukan tapa brata, rajin mempelajari upacara.
3.
Semua anggota
empat kasta teguh mengindahkan ajaran, Para menteri dan arya pandai membina
urusan negara, Para puteri dan satria berlaku sopan, berhati teguh, Waisya dan
sudra dengan gembira menepati tugas darmanya.
4.
Empat kasta
yang lahir sesuai keinginan Hyang Maha Tinggi, Konon tunduk rungkup kepada
kuasa dan perintah Baginda, Teguh tingkah tabiatnya, juga ketiga golongan
terbawah, Candala, Mleca dan Tuca mencoba mencabut cacad-cacadnya.
Pupuh LXXXII
1.
Begitulah tanah
Jawa pada zaman pemerintahan Sri Nata, Penegakan bangunan-bangunan suci membuat
gembira rakyat, Baginda menjadi teladan di dalam menjalankan enam darma, Para
ibu kagum memandang, setuju dengan tingkah laku sang prabu.
2.
Sri Nata
Singasari membuka ladang luas di daerah Sagala, Sri Nata Wengker membuka hutan
Surabana, Pasuruan, Pajang, Mendirikan perdikan Buda di Rawi, Locanapura,
Kapulungan, Baginda sendiri membuka ladang Watsari di Tigawangi.
3.
Semua menteri
mengenyam tanah pelenggahan yang cukup luas, Candi, biara dan lingga utama
dibangun tak ada putusnya, Sebagai tanda bakti kepada dewa, leluhur, para
pendeta, Memang benar budi luhur tertabur mengikuti jejak Sri Nata.
Pupuh LXXXIII
1.
Begitulah
keluhuran Sri Baginda ekananta di Wilwatika, Terpuji bagaikan bulan di musim
gugur, terlalu indah terpandang, Durjana laksana tunjung merah, sujana seperti
teratai putih, Abdi, harta, kereta, gajah, kuda berlimpah-limpah bagai
samudera.
2.
Bertambah
mashur keluhuran pulau Jawa di seluruh jagad raya, Hanya Jambudwipa dan pulau
Jawa yang disebut negara utama, Banyak pujangga dan dyaksa serta para upapati,
tujuh jumlahnya, Panji Jiwalekan dan Tengara yang menonjol bijak di dalam
kerja.
3.
Mashurlah nama
pendeta Brahmaraja bagai pujangga, ahli tutur, Putus dalam tarka, sempurna
dalam seni kata serta ilmu naya, Hyang brahmana, sopan, suci, ahli weda,
menjalankan nam laku utama, Batara Wisnu dengan cipta dan mentera membuat
sejahtera negara.
4.
Itulah sebabnya
berduyun-duyun tamu asing datang berkunjung, Dari Jambudwipa, Kamboja, Cina,
Yamana, Campa dan Karnataka, Goda serta Siam mengarungi lautan bersama para
pedagang, Resi dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang.
5.
Tiap bulan
Palguna Sri Nata dihormat di seluruh negara, Berdesak-desak para pembesar,
empat penjuru, para prabot desa, Hakim dan pembantunya, bahkan pun dari Bali
mengaturkan upeti, Pekan penuh sesak pembeli penjual, barang terhampar di
dasaran.
6.
Berputar
keliling gamelan dalam tanduan diarak rakyat ramai, Tiap bertabuh tujuh kali,
pembawa sajian menghadap ke pura, Korban api, ucapan mantra dilakukan para
pendeta Siwa-Buda, Mulai tanggal delapan bulan petang demi keselamatan Baginda.
Pupuh LXXXIV
1.
Tersebut pada
tanggal patbelas bulan petang Baginda berkirap, Selama kirap keliling kota
busana Baginda serba kencana, Ditata jempana kencana, panjang berarak beranut
runtun, Menteri, sarjana, pendeta beriring dalam pakaian seragam.
2.
Mengguntur
gaung gong dan salung, disambut terompet meriah sahut-menyahut, Bergerak
barisan pujangga menampung beliau dengan puja sloka, Gubahan kawi raja dari
pelbagai kota dari seluruh Jawa, Tanda bukti Baginda perwira bagai Rama, mulia
bagai Sri Kresna.
3.
Telah naik
Baginda di takhta mutu-manikam, bergebar pancar sinar, Seolah-olah Hyang
Trimurti datang mengucapkan puji astuti, Yang nampak, semua serba mulia, sebab
Baginda memang raja agung, Serupa jelmaan Sang Sudodanaputera dari Jina bawana.
4.
Sri nata Pajang
dengan sang permaisuri berjalan paling muka, Lepas dari singgasana yang diarak
pengiring terlalu banyak, Menteri Pajang dan Paguhan serta pengiring jadi satu
kelompok, Ribuan jumlahnya, berpakaian seragam membawa panji dan tunggul.
5.
Raja Lasem
dengan permaisuri serta pengiring di belakangnya, Lalu raja Kediri dengan permaisuri
serta menteri dan tentara, Berikut maharani Jiwana dengan suami dan para
pengiring, Sebagai penutup Baginda dan para pembesar seluruh Jawa.
6.
Penuh berdesak
sesak para penonton ribut berebut tempat, Di tepi jalan kereta dan pedati
berjajar rapat memanjang, Tiap rumah mengibarkan bendera, dan panggung membujur
sangat panjang, Penuh sesak perempuan tua muda, berjejal berimpit-impitan.
7.
Rindu sendu
hatinya seperti baru pertama kali menonton, Terlangkahi peristiwa pagi, waktu
Baginda mendaki setinggil, Pendeta menghaturkan kendi berisi air suci di dulang
berukir, Menteri serta pembesar tampil ke muka menyembah bersama-sama.
Pupuh LXXXV
1.
Tanggal satu
bulan Caitra bala tentara berkumpul bertemu muka, Menteri, perwira, para arya
dan pembantu raja semua hadir, Kepala daerah, ketua desa, para tamu dari luar
kota, Begitu pula para kesatria, pendeta dan brahmana utama.
2.
Maksud
pertemuan agar para warga mengelakkan watak jahat, Tetapi menganut ajaran
Rajakapakapa, dibaca tiap Caitra, Menghindari tabiat jahat, seperti suka
mengambil milik orang, Memiliki harta benda dewa, demi keselamatan masyarakat.
Pupuh LXXXVI
1.
Dua hari
kemudian berlangsung perayaan besar, Di utara kota terbentang lapangan bernama
Bubat, Sering dikunjungi Baginda, naik tandu bersudut singa, Diarak abdi
berjalan, membuat kagum tiap orang.
2.
Bubat adalah
lapangan luas lebar dan rata, Membentang ke timur setengah krosa sampai jalan
raya, Dan setengah krosa ke utara bertemu tebing sungai, Dikelilingi bangunan
menteri di dalam kelompok.
3.
Menjulang
sangat tinggi bangunan besar di tengah padang, Tiangnya penuh berukir dengan
isi dongengan parwa, Dekat di sebelah baratnya bangunan serupa istana, Tempat
menampung Baginda di panggung pada bulan Caitra.
Pupuh LXXXVII
1.
Panggung
berjajar membujur ke utara menghadap barat, Bagian utara dan selatan untuk raja
dan arya, Para menteri dan dyaksa duduk teratur menghadap timur, Dengan
pemandangan bebas luas sepanjang jalan raya.
2.
Di situlah
Baginda memberi rakyat santapan mata, Pertunjukan perang tanding, perang pukul,
desuk-mendesuk, Perang keris, adu tinju, tarik tambang, menggembirakan, Sampai
tiga empat hari lamanya baharu selesai.
3.
Seberangkat
Baginda, sepi lagi, panggungnya dibongkar, Segala perlombaan bubar: rakyat
pulang bergembira, Pada Caitra bulan petang Baginda menjamu para pemenang, Yang
pulang menggondol pelbagai hadiah bukan pakaian.
Pupuh LXXXVIII
1.
Segenap ketua
desa dan wadana tetap tinggal, paginya mereka, Dipimpin Arya Ranadikara
menghadap Baginda minta diri di pura, Bersama Arya Mahadikara, kepala
pancatanda dan padelegan, Sri Baginda duduk di atas takhta, dihadap para abdi
dan pembesar.
2.
Berkatalah Sri
nata Wengker di hadapan para pembesar dan wadana: “Wahai, tunjukkan cinta serta
setya baktimu kepada Baginda raja, Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah
memajukan dusunmu, Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya
dibina.
3.
Terutama
dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah, Perhatikan tanah
rakyat, jangan sampai jatuh di tangan petani besar, Agar penduduk jangan sampai
terusir dan mengungsi ke desa tetangga, Tepati segala peraturan untuk membuat
desa bertambah besar”.
4.
Sri nata
Kertawardhana setuju dengan anjuran memperbesar desa, “Harap dicatat nama
penjahat dan pelanggaran setiap akhir bulan, Bantu pemeriksaan tempat durjana,
terutama pelanggar susila, Agar bertambah kekayaan Baginda demi kesejahteraan
negara”.
5.
Kemudian
bersabda Baginda nata Wilwatikta memberi anjuran: “Para budiman yang berkunjung
kemari, tidak boleh dihalang-halangi, Rajakarya, terutama bea-cukai, pelawang,
supaya dilunasi, Jamuan kepada para tetamu budiman supaya diatur pantas”.
Pupuh LXXXIX
1.
Undang-undang
sejak pemerintahan ibunda harus ditaati, Hidangan makanan sepanjang hari harus
dimasak pagi-pagi, Jika ada tamu loba tamak mengambil makanan, merugikan,
Biar
mengambilnya, tetapi laporkan namanya kepada saya.
2.
Negara dan desa
berhubungan rapat seperti singa dan hutan, Jika desa rusak, negara akan
kekurangan bahan makanan, Kalau tidak ada tentara, negara lain mudah menyerang
kita, Karenanya peliharalah keduanya, itu perintah saya!”
3.
Begitu perintah
Baginda kepada wadana, yang tunduk mengangguk, Sebagai tanda mereka sanggup
mengindahkan perintah beliau, Menteri, upapati serta para pembesar menghadap
bersama, Tepat pukul tiga mereka berkumpul untuk bersantap bersama.
4.
Bangunan
sebelah timur laut telah dihiaisi gilang cemerlang, Di tiga ruang para wadana
duduk teratur menganut sudut, Santapan sedap mulai dihidangkan di atas dulang
serba emas, Segera deretan depan berhadap-hadapan di muka Baginda.
5.
Santapan
terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, Ikan, telur, domba,
menurut adat agama dari zaman purba, Makanan pantangan: daging anjing, cacing,
tikus, keledai dan katak, Jika dilanggar, mengakibatkan hinaan musuh, mati dan
noda.
Pupuh XC
1.
Dihidangkan
santapan untuk orang banyak, Makanan serba banyak serta serba sedap,
Berbagai-bagai ikan laut dan ikan tambak, Berderap cepat datang menurut acara.
2.
Daging katak,
cacing, keledai, tikus, anjing, Hanya dihidangkan kepada para penggemar, Karena
asalnya dari pelbagai desa, Mereka diberi kegemaran, biar puas.
3.
Mengalir
pelbagai minuman keras segar, Tuak nyiur, tal, arak kilang, brem, tuak rumbya,
Itulah hidangan minuman yang utama, Wadahnya emas berbentuk aneka ragam.
4.
Porong dan guci
berdiri terpencar-pencar, Berisi minuman keras dari aneka bahan, Beredar putar
seperti air yang mengalir, Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk.
5.
Meluap jamuan
Baginda dalam pesta, Hidangan mengalir menghampiri tetamu, Dengan sabar segala
sikap diizinkan, Penyombong, pemabuk jadi buah gelak tawa.
6.
Merdu merayu
nyanyian para biduan, Melagukan puji-pujian Sri Baginda, Makin deras peminum
melepaskan nafsu, Habis lalu waktu, berhenti gelak-gurau.
Pupuh XCI
1.
Pembesar daerah
angin membadut dengan para lurah, Diikuti lagu, sambil bertandak memilih
pasangan, Solah tingkahnya menarik gelak, menggelikan pandangan, Itulah
sebabnya mereka memperoleh hadiah kain.
2.
Disuruh
menghadap Baginda, diajak minum bersama, Menteri upapati berurut minum bergilir
menyanyi, Nyanyian Manghuri Kandamuhi dapat sorak pujian, Baginda berdiri,
mengimbangi ikut melaras lagu.
3.
Tercengang dan
terharu hadirin mendengar swara merdu, Semerbak meriah bagai gelak merak di
dahan kayu, Seperti madu bercampur dengan gula terlalu sedap manis, Resap
mengharu kalbu bagai desiran buluh perindu.
4.
Arya Ranadikara
lupa bahwa Baginda berlagu, Bersama Arya Mahadikara mendadak berteriak, Bahwa
para pembesar ingin beliau menari topeng, “Ya!” jawab beliau; segera masuk
untuk persiapan.
5.
Sri
Kertawardana tampil ke depan menari panjak, Bergegas lekas panggung disiapkan
di tengah mandapa, Sang permaisuri berhias jamang laras menyanyiakan lagu, Luk
suaranya mengharu rindu, tingkahnya memikat hati.
6.
Bubar mereka
itu, ketika Sri Baginda keluar, Lagu rayuan Baginda bergetar menghanyutkan
rasa, Diiringkan rayuan sang permaisuri rapi rupendah, Resap meremuk rasa
merasuk tulang sungsum pendengar,
7.
Sri Baginda
warnawan telah mengenakan tampuk topeng, Delapan pengiringnya di belakang,
bagus, bergas pantas, Keturunan arya, bijak, cerdas, sopan tingkah lakunya,
Itulah sebabnya banyolannya selalu tepat kena.
8.
Tari sembilan
orang telah dimulai dengan banyolan, Gelak tawa terus-menerus, sampai perut
kaku beku, Babak yang sedih meraih tangis, mengaduk haru dan rindu, Tepat
mengenai sasaran, menghanyutkan hati penonton.
9.
Silam matahari
waktu lingsir, perayaan berakhir, Para pembesar minta diri mencium duli paduka,
Katanya: “Lenyap duka oleh suka, hilang dari bumi!”, Terlangkahi pujian Baginda
waktu masuk istana.
Pupuh XCII
1.
Begitulah suka
mulia Baginda raja di pura, tercapai segala cita, Terang Baginda sangat
memperhatikan kesejahteraan rakyat dan negara, Meskipun masih muda, dengan suka
rela berlaku bagai titisan Buda, Dengan laku utama beliau memadamkan api
kejahatan durjana.
2.
Terus
membumbung ke angkasa kemashuran dan peperwiraan Sri Baginda, Sungguh beliau
titisan Batara Girinata untuk menjaga buana, Hilang dosanya orang yang
dipandang, dan musnah letanya abdi yang disapa.
3.
Itulah sebabnya
keluhuran beliau mashur terpuji di tiga jagad, Semua orang tinggi, sedang, dan
rendah menuturkan kata-kata pujian, Serta berdoa agar Baginda tetap subur bagai
gunung tempat berlindung, Berusia panjang sebagai bulan dan matahari cemerlang
menerangi bumi.
Pupuh XCIII
1.
Semua pendeta
dari tanah asing menggubah pujian Baginda, Sang pendeta Budaditya menggubah
rangkaian seloka Bogawali, Tempat tumpah darahnya Kancipuri di Sadwihara di
Jambudwipa, Brahmana Sri Mutali Saherdaya menggubah pujian seloka indah.
2.
Begitu pula
para pendeta di Jawa, pujangga, sarjana sastra, Bersama-sama merumpaka seloka
puja sastra untuk nyanyian, Yang terpenting puja sastra di prasasti, gubahan
upapati Sudarma, Berupa kakawin, hanya boleh diperdengarkan di dalam istana.
Pupuh XCIV
1.
Mendengar
pujian para pujanggga pura bergetar mencakar udara, Prapanca bangkit turut
memuji Baginda, meski tak akan sampai pura, Maksud pujiannya, agar Baginda
gembira jika mendengar gubahannya, Berdoa demi kesejahteraan negara, terutama
Baginda dan rakyat.
2.
Tahun Saka
gunung gajah budi dan janma (1287) bulan aswina hari purnama, Siaplah kakawin
pujaan tentang perjalanan jaya keliling negara, Segenap desa tersusun dalam
rangkaian, pantas disebut desawarnana, Dengan maksud, agar Baginda ingat jika
membaca hikmat kalimat.
3.
Sia-sia lama
bertekun menggubah kakawin menyurat di atas daun lontar, Yang pertama “Tahun
Saka”, yang kedua “Lambang” kemudian “Parwasagara”, Berikut yang keempat
“Bismacarana”, akhirnya cerita“Sugataparwa”, Lambang dan Tahun Saka masih akan
diteruskan, sebab memang belum siap.
4.
Meskipun tidak
semahir para pujangga di dalam menggubah kakawin, Terdorong cinta bakti kepada
Baginda, ikut membuat puja sastra, Berupa karya kakawin, sederhana tentang
rangkaian sejarah desa, Apa boleh buat harus berkorban rasa, pasti akan
ditertawakan.
Pupuh XCV
1.
Nasib badan
dihina oleh para bangsawan, canggung tingggal di dusun, Hati gundah kurang
senang, sedih, rugi tidak mendengar ujar … manis, Teman karib dan orang budiman
meningggalkan tanpa belas kasihan, Apa gunanya mengenal ajaran kasih, jika
tidak diamalkan?.
2.
Karena
kemewahan berlimpah, tidak ada minat untuk beramal, Buta, tuli, tak nampak
sinar memancar dalam kesedihan, kesepian, Seyogyanya ajaran sang Mahamuni diserapkan
bagai pegangan, Mengharapkan kasih yang tak kunjung datang, akan membawa mati
muda.
3.
Segera bertapa
brata di lereng gunung, masuk ke dalam hutan, Membuat rumah dan tempat
persajian di tempat sepi dan bertapa, Halaman rumah ditanami pohon kamala, asana,
tinggi-tinggi, Memang Kamalasana nama dukuhnya sudah sejak lama dikenal.
Pupuh XCVI
1.
Pra panca itu
pra lima buah, Cirinya: cakapnya lucu, Pipinya sembab, matanya ngeliyap,
Gelaknya
terbahak-bahak.
2.
Terlalu kurang
ajar, tidak pantas ditiru, Bodoh, tak menurut ajaran tutur, Carilah pimpinan
yang baik dalam tatwa, Pantasnya ia dipukul berulang kali.
Pupuh XCVII
1.
Ingin menyamai
Mpu Winada, Mengumpulkan harta benda, Akhirnya hidup sengsara, Tapi tetap
tinggal tenang.
2.
Winada mengejar
jasa, Tanpa ragu wang dibagi, Terus bertapa berata, Mendapat pimpinan hidup.
3.
Sungguh handal
dalam yuda, Yudanya belum selesai, Ingin mencapai nirwana, Jadi pahlawan
pertapa.
Pupuh XCVIII
1.
Beratlah bagi
para pujangga menyamai Winada, bertekun dalam tapa, Membalas dengan cinta kasih
perbuatan mereka yang senang, Menghina orang-orang yang puas dalam ketenangan
dan menjauhkan diri dari segala tingkah, menjauhkan diri dari kesukaan dan
kewibawaan dengan harapan akan memperoleh faedah, Segan meniru perbuatan mereka
yang dicacat dan dicela di dalam pura.
Sumber: Prof.
Dr. Slamet Mulyana (Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya)
http://padepokan-dewandaru.blogspot.com/2010/11/terjemahan-kitab-negara-kertagama.html
Sebelumnya
Kembali ke Branda
http://padepokan-dewandaru.blogspot.com/2010/11/terjemahan-kitab-negara-kertagama.html
Sebelumnya
Kembali ke Branda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentarlah dengan baik dan sopan. Pasti akan dibalas oleh pemilik. Mohon jangan mengandung unsur kasar dan sara, mari berbagi pengetahuan, silakan kritik karena kritik itu membangun dan membuat sesuatu menjadi lebih baik