KAKAWIN NIRARTHA
PRAKRETA
teks, tafsir dan terjemahan
Pupuh IV
1. Karmendriyeka maka manggalanin
swacitta. Karmendriyan pinaka marga mamicren suksma. Ndan san huwus wruh i
panuksmanikan ya manka.
Karmendriya (lima indriya gerak, yaitu peraba tangan,
peraba kaki, lidah, rasa kemaluan dan rasa dubur) adalah bagai pemimpin digaris
depan. Karmendriya adalah jalan untuk mengenal Suksma (Badan Halus). Maka orang
yang telah mengenal Karmendriya-nya dia pun akan mengenal Suksma-nya.
2. Wanten wretatwa wekasin
paramatiguhya. Byapin pradhana pada litnika tanpa hinan. Tan dwa wibhajya
bahubheda mawreddhi-wreddhi. Nyan pancawinsya saha syatwariwinsya tatwa.
Ada ajaran Kesejatian yang menjadi puncak segala
rahasia, Pradhana (cikal bakal materi semesta) lahir, sangat kecilnya tiada
hingga, dengan segera pecah menjadi bermacam-macam dan berlipat-lipat, menjadi
dua puluh lima dan dua pua puluh empat buah intisari (material).
3. Yeka nimittanikanan sahanen
triloka. Sthuladi tatwa kateken dwidasyanga tattwa. Mwan bhuta panca kalawan
lima matra tattwa. Ahhin rwa hetunika yan paripurna nitya.
Itulah yang menjadi sumber adanya ciptaan di tiga alam
ini, mulai yang berbentuk materi maupun Dua belas buah benda non materi yang
lain (yaitu Pancandriya lima buah, Pancakarmendriya lima buah, ditambah
Manah/Pikiran dan Ahamkara/Perasaan. Total Dua belas). Bersumber dari Lima
Unsur Dasar (Panca Mahabhuta ~ Akasha : Ruang, Wayu : Udara, Teja : Api, Apah :
Air dan Prtiwi : Tanah) dan Lima Unsur Yang Masih Halus (Matratatwa = Panca Tan
Matra ~ Sabda Tan Matra sebagai cikal bakal Akasha, Sparsa Tan Matra sebagai
cikal bakal Wayu, Rupa Tan Matra sebagai cikal bakal Teja, Rasa Tan Matra
sebagai cikal bakal Apah dan Gandha Tan Matra sebagai cikal bakal Prtiwi). Dari
kedua unsur dasar yang berasal dari Pradhana inilah sumber segala benda
material dan non material menjadi sempurna.
4. Rin pancabhuta guna len lima
matra siddhi. Maride wikalpa hana rin hati lot humandel. Lilamanun turida raga
lulutnikan twas. Harsen katon sakarend kaharas tekapnya.
Di dalam ‘Pancabhuta (Panca Mahabhuta)’ terdapat
‘Gunna (watak dasar ~ yaitu Sattwa : Keseimbangan, Rajas : Keaktifan dan Tamas
: Kelembaman)’ dan ‘Lima Matra’ = (Panca Tan Matra) yang sempurna. (Mereka)
mengikat dan menjerat hati menjadi lupa dan sangat sukar dihilangkan, membuat
kecenderungan senang akan asmara cinta dan kenikmatan duniawi, segala yang
bagus dilihat dan yang indah didengar tercakup olehnya.
5. Ngka yan pamreddhi wekasan tikan
indriyartha. Karmendriyadinikahen wisayanya purna. Sarwesta rin rasa sugandhika
len swarupa. (Surupa) mwan sarwa wastu katenin hati mogha tresna.
Pada waktu itu akhirnya ‘Indryarthaa (Pancaindriya ~
yaitu Penglihatan, Penciuman, Pendengaran, Pengucapan dan Perasa seluruh
badan)’ terpengaruh, ‘Karmendriya (yaitu Perasa Tangan, Perasa Kaki, Perasa
Lidah, Rasa Kemaluan dan Rasa Dubur)’-lah yang terutama menjadi pemenuh
keinginan, segala keinginan terhadap rasa, bau yang wangi dan wujud yang indah
dari segala benda melekat di hati dengan sangat kuatnya.
6. Hinanya nirmala lawan malinatwa
kirna. Mungwin swabhawanikanan dadi sarwajanma. Jumren jagat mamenubi lwanin
andabhumi. Apan sira prabhu wibhuh nirakara ring rat.
Batas kesucian dan ke-tidak-sucian menjadi kabur bagi
tingkah laku segala makhluk dan manusia, Pradhana ini mengembang didunia,
memenuhi segenap penjuru ruangan, dialah raja yang sangat berkuasa di dunia
maya ini.
7. Manka swajatinika kalih
anopalabdhi. Kapwatisukstna sumilib ri manah tan imba. Durgrahya grehyaka
wisyeda mahaprameya. Ekaswabhawa sira karwa wibhinnapaksa.
Demikianlah dua-duanya (Panca Maha bhuta dan Panca Tan
Matra) tak dapat dilihat. Kedua-duanya sangat lembut menyelip di hati tiada
bandingan, tidak dapat diraba dan sangat gaib, tidak dapat dipikirkan
ukurannya. Keduanya sebenarnya satu, tidak dapat dipisah-pisahkan.
8. Himper wulan lawan ikan gacacihna
drestan. Nya tekihen wenana len kahananya mungu. Yawat lananemuki satmaka
wighna saksat. Tawat tumut sumuluh in sakalanda lumrah.
Meraka itu tampak seperti bulan dengan gambar kelincinya
(Didalam bulan terdapat gambar mirip kelinci menurut orang Majapahit dahulu).
Dapatkah mereka itu dipisah-pisahkan? Kalau bulan terhalangi, demikian pula
(kelinci) ikut tak terlihat juga. Kalau bulan menerangi alam semesta, demikian
pula (kelinci) ikut bercahaya.
9. Ndah mankana n hala hajen gumelar
hanen rat. Duran wiyoga saka ring patemunya karwa. Murigwin trikaya kawanun
tekapin swacitta. Solah sasabda samanah maka sadhananya.
Begitu juga keberadaan kejahatan dan kebaikan di
dunia. Kedua-nya amatlah sukar dipisahkan (dari ikatannya). Mereka terbentuk
dari ‘Trikaya’ (Trikaya adalah Kayika :Perbuatan, Wacika : Ucapan dan Manasika
: Pikiran), yang berasal dari manusia sendiri. Segala Perbuatan, Ucapan dan
Pemikiran hanyalah merupakan ungkapan dari Trikaya itu.
10. Yeki n tri hetukanikan umusir
yamanda. Yapwan sininhitakening hala karmikande. Yekin tri hetunin amanguhaken
triwarga. Yan sinhitin hayu n ulah ginawe pwa nitya.
Inilah tiga sebab (Trikaya) yang menjerumuskan manusia
ke alam Yama (Neraka) bila cenderung ke arah yang jahat. Hukum karma yang akan
membalaskannya.
(Tetapi) ketiga sebab (Trikaya) itu dapat pula membuat terpenuhinya ‘Triwarga’ (Triwarga yaitu Dharma : Kebenaran, Kama : Pemenuhan keinginan, dan Artha : Kesejahteraan duniawi) kalau segala perbutan yang senantiasa dilakukan cenderung ke arah kebaikan.
(Tetapi) ketiga sebab (Trikaya) itu dapat pula membuat terpenuhinya ‘Triwarga’ (Triwarga yaitu Dharma : Kebenaran, Kama : Pemenuhan keinginan, dan Artha : Kesejahteraan duniawi) kalau segala perbutan yang senantiasa dilakukan cenderung ke arah kebaikan.
11. Anhin tri-kaya paramartha
wicuddha marga. Ambalnikan pada wimoksa niratma misyra. Nahan matannya dina
ratri ya tolaheka. Rapwan tumemwaken awaknin acintyatattwa.
“Trikaya” pula satu-satunya jalan yang utama dan suci,
yang dapat membawa (manusia) ke arah ‘Moksha’ (Pembebasan) dan menyatu dengan
Niratma (Yang Tanpa Atma atau Nirwana). Oleh karena itu kerjakanlah hal ini
siang dan malam, agar dapat bertemu dengan Dia, Yang Tak Dapat Dicapai Dengan
Pikiran (Acintya).
Pupuh V
1. Nhih durlabha dahaten ikan
trikaya pagehanya wimala satata. Sanken hala ta rusitikan pinet sthiti haneriya
manulahaken. Pohnin paramarasa rahasya nugraha lanamenuhi maniluman. Tan matra
kawenan yadin prihen lewu wilaksana siran inusir.
Tetapi sangat sukarlah menjaga ‘Trikaya’ agar selalu
suci, karena sifat jahat yang sangat sukar dipisahkan dan selalu ada dan
bekerja. Tanpa diketahui dan tiada henti-hentinya (sifat jahat itu) memberi
(manusia) anugrah yang berupa rasa puas dan penasaran. (sifat jahat itu) tak
dapat dikalahkan dengan gampang, walaupun diusahakan benar-benar, karena tidak
mempunyai wujud fisik.
2. Pujarcana sahana
widhikriyacjrayakenanta pinaka syarana. Mwan dhyana saha japa samadhi yoga
panupaya sakala regepen. Tan byakta tika karananih tumemwa wekasin parama
kasugatin. Yan tan wruh i patitisi sandhinin samaya nisphala sahananika.
Sebagai syarat (mengalahkan kejahatan) pergunakanlah
doa, sembahyang dan segala sesuatu hal menurut ketentuan-ketentuannya (upacara
suci sesuai ajaran Shiwa Buddha). Juga pemusatan pikiran (meditasi), Japa, Tapa
dan lain-lain harus diusahakan dengan sungguh-sungguh. Tetapi semuanya itu
belum tentu menjadi sebab diketemukannya ‘Puncak Kesempurnaan Yang Utama’, bila
(manusia) tak mampu menguak kesejatian dirinya, maka segala sesuatu tiada
berguna.
3. Apan sahana-hananikan prayoga
pinakesti sira juga tedun. Ndah mogha mawaka rikan angego smreti tekasuna wara,
kahidep. Tan wruh yadi sira hana rin swabhawa tinelen milu manelenaken. Nir
sadhana sira maka sadhanen hayu sadanilib in anen’anen.
Karena tujuan segala ‘yoga’ itu ialah (agar) Dia turun
(dari kahyangan), (kata mereka) dengan tiba-tiba Dia akan datang untuk memberi
anugrah dan orang yang sedang bersemadi itu, tanpa mengetahuinya, bersatu badan
dengan yang menjadi pusat tujuan semadi itu (Tuhan), dan Dia ikut bersemadi.
Sesungguhnya Dia itu tidak memerlukan syarat-syarat (Nirsadhana agar supaya Dia
bisa turun dari kahyangan), tetapi sesunggguhnya Dia-lah yang menjadi syarat
menuju ke kebahagiaan dan Dia tersembunyi di dalam semedi itu sendiri.
4. Lwir bahni wekasin atisuksma tan
sipi haneh kayu-kayu sahana. Ndah yan tutuhana wadunen pajun kapana yann
umijila n anala. Nhin yan wruhanikanan anuswaken lalu sawega lekasanikahen.
Byaktotpadanikan apuy dumagdhakena wreksa pinenuhan ika.
Bagaikan api yang tersembunyi di dalam segala kayu
tidak terbandingkan, walaupun dibelah dengan kapak ataupun palu, mustahil api
akan keluar. Tetapi bila (orang) tahu menggosokkan dua potong kayu dengan cepat
dan kuat, tentu api akan keluar dan membakar kayu itu sendiri sampai habis.
Pupuh VI
1. Iwa mankaneki gati san hyan
umibeki samuhanin dadi. Ya mawak pawak ya ginawe gumaway ikan acintya niskala.
Sasinadhyanin tapa masadhya rin angulahaken giwarcana. Hana tan tumut tuwi
tumut ta ya raket i sapolahin sarat.
Seperti itulah halnya Dia, Dewa (segala Dewa) yang ada
di dalam seluruh makhluk dan yang memenuhi segala makhluk. Dia Yang Meliputi
dan sekaligus Diliputi. Dia-lah yang diciptakan ini semua, dan Dia juga yang
menciptakan, Yang Tak Dapat Dicapai dengan pikiran dan segenap indra. Yang
menjadi tujuan semua pertapa yang menyembah-Nya. Dia hadir dan dekat dengan
segala makhluk, ikut di dalam perbuatan-perbuatannya makhluk, tetapi juga tidak
berbuat.
2. Rin apan kawastwan i siran
grahana tubu widehalaksana. Ya matannya durgama kapangihanika tekapin mamet
hayu. Humenen nda tan wenan atarka ri karegepanin samankana. Katunan tutur
hidepikan lebar abalika wreddhyanin lupa.
Bagaimanakahkah (manusia) dapat menggambarkan-Nya dan
meraba-Nya, karena Dia sungguh-sungguh bersifat ‘Tak bermateri’? Itulah
sebabnya Dia sangat sukar ditemukan oleh orang yang berniat mencapai
Kebahagiaan. Hanya pada waktu manusia mampu men-‘diam’-kan dirinya (dari segala
pikirannya liarnya) dan disaat manusia ‘tak merasa menemukan-nya’, maka akan
hilang lenyap rasa dan pikiran kembali kepada ‘Ke-alpa-an Yang Sempurna’,
(disitulah baru dapat bertemu dengan Dia).
Pupuh VII
1. Asih ulahanikan wwan tan byakta
nya kinatayan. Padanira hana ri nika lwir maya taya tinuduh. Ya karananira san
wruh nir tan sadhya telenana. Smretinira juga langen nimnajnyana syuci sada.
Segala aktifitas manusia tidak akan menjadi jika tanpa
Dia. Kehadiran-Nya hanya dapat diumpamakan seperti Maya (illusi), tak dapat
ditunjukkan. Oleh karena itu manusia yang telah tahu, hilang keinginannya yang
menggebu-gebu memusatkan pikirannya (untuk mencapai-Nya). Cukup hanya dengan
Japa yang terus menerus saja serta dengan batin yang hening (itulah jalan
bertemu dengan-Nya).
2. Ri henenikanan ambek tibralit
mahenin aho. Lenit aticaya syunya jnyananasyraya wekasan. Swayen umibeki tan
ring rat mwan deha tuduhana. Ri panawakira san hyan tatwadhyatmika katemu.
Manakala batin telah hening, menjadi sangat halus,
sangat suci dan cemerlang, maka hilanglah segala personalitasnya dan menjadi
kosong belaka. Akhirnya Kesadaran Sejati timbul, serta merta meliputi seluruh
dunia. Pada waktu Sang Hyang Tatwa (Kenyataan/Kesadaran Tertinggi) mennyatu dengan
seseorang, maka bertemulah dia dengan Roh yang Tertinggi (Adyatmika =
Paramatma).
3. Ndan i huwusira manka san sampun
kretasamaya. Tri-mala malilan in cittande syuddha tanu sada. Lara pati putekin
twas ndin sandehan ika kabeh. Geseni manahirapan rudratma sakala wibhuh.
Dan setelah demikian itu, Trimala (Tiga kekotoran) di
dalam hati dari ‘manusia yang sudah bertemu’ tersebut menjadi bersih dan
membuat tubuhnya suci selalu. Sakit, mati, dukacita, tak dapat menakutkan
dirinya lagi. (Semuanya) telah terbakar di dalam batinnya, karena ia telah
menjadi Dewa Rudra (Tuhan) Yang Maha Kuasa diseluruh dunia.
Pupuh VIII
1. Mankana rakwa san telas anemwaken
pada wigesa guhyasamaya. Tan manawastha tan hidep amicra suksma ri bhatara
satmika lana. Linga manahniran sthiti manekadega madeg in syiwalaya sada.
Gaktiniraprameya hibeking jagat juga maweh sukapratihata.
Demikianlah ciri-ciri manusia yang
telah menggapai Kesempurnaan Utama. Senantiasa sttabil dan tenang karena telah
bersatu badan dan jiwa dengan Bhatara (Tuhan). Hatinya teguh bagaikan lingga
yang berdiri kokoh dengan tetap di kerajaan Dewa Siwa. Kesaktiannya tak ada
batasnya , meliputi seluruh dunia serta membawa kebahagiaan yang kekal.
2. Na lwiri san tepet manemu yoga
sandhinin acintya sasmreti sada. Tan swasyarira kewala wiguddha nirmala
tekaparatmaka kabeh. Swartha parartha sadhyanira tan wurun mudani harsanin
parahita. Yeka panihnanin sakalamurti san hyan apagoh umandel i sira.
Demikianlah manusia yang sepenuhnya telah mencapai
persatuan atau pertemuan dengan Dewa Acintya (Dewa Yang Tak Terpikirkan/Tuhan)
melalui Japa yang teratur. Tidak hanya dirinya sendiri yang suci, bahkan
orang-orang lain pun akan ikut menjadi suci karena bantuannya. Dia berpikir,
bahwa kepentingan orang lain adalah kepentingannya juga. Sudah barang tentu
akan membawa kebahagiaan bagi manusia lain seperti halnya hujan. Itulah tanda,
bahwa Tuhan telah ‘mengejawantah’ dan ‘menyatu’ secara kekal dengannya.
3. Len hana nista madhya lawan
uttaman pada kininkinin hayunika. Mwan karananya mentasa saken aweci musira n
sukadhikapada. Yan mulatin parahemu suduhkitalara dahat hidepnira tumon. Ri
wruhi tanpa bhedanira mulanin bhuwana jati tunggal ikahen.
Dalam pandangannya tak ada lagi manusia nista, manusia
madya (pertengahan antara nista dan utama) dan manusia uttama, semua dia
kasihi. Bahkan sampai jalan kelepasan mereka dari neraka, juga diperhatikannya.
Manakala melihat orang lain mendapat dukacita, hatinya sangatlah kasihan padanya.
Karena ia tahu, bahwa pada dasarnya semua manusia itu tak ada beda (satu
kesatuan), semua itu sama.
Pupuh IX
1. Tan manka janaloka buddhi
winanunya tan amuhara treptinin hidep. Ndan bwat dwesa gatinya rin paraguna,
swaguna juga lewih wuwusnika. Gonnih dosa hinotakenya ri syarira kinekesika tan
kanisycayan. Anhin yan hana dosa-matranikanan parajana winulik winarnana.
Tapi tidak seperti itu bagi manusia biasa. Apa yang
dipikirkan dan diperbuat, hanyalah demi memuaskan diri sendiri. Ia sangat tidak
senang terhadap kemampuan orang lain, dan berkata, bahwa hanya kemampuannyalah
yang lebih. Segala kesalahannya yang besar disembunyikan dan disimpannya,
sehingga jangan sampai kelihatan. Tetapi bila ada kesalahan orang lain,
walaupun sangat kecil, dicari-carinya dan dibuka-buka.
2. Lyan tekan hati tustacitta ri
sedehnika n umulati duhkanin waneh. Irsyen wan tumemu n sukanalah ulah
karananira manemwa duhkita. Nindyeri sadhu mahardhike manah anindya winalin
agawe kaduskretan. Gonnin krodha madeg yadin calana, henti sumukitanikan
hinastawa.
Hatinya sangat senang bila melihat orang lain dalam
kesusahan. Ia iri hati terhadap orang yang mendapat kesenangan dan bahkan
berusaha untuk menjerumuskannya. Orang-orang yang sangat baik dan yang sangat
berbudi difitnahnya. Ia sangat marah bila dicela, senang sekali bila disanjung.
3. Tan tunggal mara sampaying nara,
wimurka, tumaya-taya rin huwus mahan. Nirsandeha cumodya solahira san jenek
anulahaken kasatwikan. Yeku bhranta wimudha-janma tang amet hyang aputeran
aneka laksana. Lecyanyan turunin wruh in gati nahan pangucapira manalpika
Iwero.
Dengan berbagai cara ia menghina orang, dengan
kedengkiannya ia merendahkan orang yang berjasa besar. Tiada sungkan lagi ia
mengecam segala perbuatan orang yang melaksanakan perbuatan-perbuatan baik.
Semua manusia yang berusaha dengan berbagai jalan dan pergi ke mana-mana untuk
mencari Tuhan dengan alasan belum mengerti kebenaran-Nya adalah orang yang
tolol dan bingung. Demikian katanya menghina yang lain dan merasa dirinya lebih
benar.
4. Ndah mankambekikan syatagelem
apet rin analahi n ulah nya nityasa. Lobhe dhih umaku wisyesa tinemunya ri
turunin acihna rin praja. Ndan sabdanya juga lepas lwiraniki n kalilinan
atikadbhutapatuk. Anhin tan kawenan miber sthiti hanen kuwunika ri wipaksanin
tanu.
Demikianlah pikiran orang yang jahat suka mencari-cari
kesalahan orang lain. Dengan tamak dia mengaku dirinya hebat, padahal belum ada
bukti yang bisa diperlihatkannya. Kata-katanya sajalah yang hebat, seperti
burung enggang dengan patuknya yang sangat besar, ia sendiri tak dapat terbang,
ia diam saja di dalam sarangnya, karena kemampuannya tidak sepadan (dengan
kata-katanya).
5. Nistanyan pwa ya mankana n gati
taman surud anekani sestinin hati. Tan seneh yadin asyana h para tekapnikan
awedi kasoran in naya. Wetnin hyunya pujin stutin ya linika bhuwana lepasa
denku tan wurun. Simbantenn iki yan makarya ya jugan winawanika ri
tambragomuka.
Beginilah akhir bagi manusia yang tidak henti-hentinya
memperturutkan segala kehendak hatinya. Ia tak perduli ditertawakan orang lain,
karena takut dikatakan kalah bijaksana. Karena ingin dipuji dan disanjung, ia
berkata, Saya yang akan menyelamatkan dunia. Bukannya berhasil, malahan ia
terbawa masuk ke neraka.
Pupuh X
1. Tan mankambek munindraticaya
nipuna rin sarwa tatwopadesya. Tan sahken lobha yar sorakeni sahananih loka
kapwapranamya. Sanka ry asihnira n hetunika pada musap joh lananghyan masewa.
Warsajnyanopacantanirami manahikan rat dumeh harsacitta.
Tidaklah demikian hati seorang pendeta besar, yang tinggi
ilmunya dalam segala ilmu Kesejatian. Bukan karena loba hatinya, kalau ia
menempatkan dirinya lebih tinggi dari orang-orang lain yang menghormatinya.
Karena kasihnya maka mereka menghormatinya. Kebijaksanaannya dan kesabarannya
bagaikan hujan yang menyirami hati semua orang dan membawa kebahagiaan bagi
mereka.
2. Tekwan tan sanka rin pintanika ri
datengin sarwa ratnopakara. Wetnyatyanten mahasiddhinira kumawasyen rat taya n
langhaniya.
Lagipula bukan karena meminta, sehingga segala permata
dan lainnya datang kepadanya. Tetapi karena kesempurnaan (ilmunya) yang
mengusai dunia, sehingga tak ada yang membantahnya.
3. Apan prajna suluh san yatiwara
masawan bahni candrarka dipta. Rin wahyadhyatmika n anga rinadinanira n syatru
yanken peteng sok. Dhwasteka nan tamahnin hati sahananikan papa len klesya
syirna. Lila-lilan panicchen bhuwana tekapikan jnyana syaktyaniwarya.
Karena ilmunya yang tinggi sang pendeta menjadi suluh
laksana api yang bercahaya, bagai matahari dan bulan. Dengan kebesaran jiwa
yang keluar dari dirinya, dikalahkannya musuh yang bagai kegelap gulitan.
Hilanglah segala keangkaraan yang berdosa dan musnahlah kecemaran mereka.
Dengan sangat baik dibuatnya dunia menjadi bahagia berkat kemampuan ilmunya
yang luar biasa.
Pupuh XI
1. Samanka tinkahnira san huwus
mahan. Mahojjwalen jnyana lumon prabhaswara. Prabhaswaren rat supenuh nda tan
katon. Katon tikan wastu susuksma denira.
Demikianlah tingkah laku orang yang telah mencapai
kebesaran (jiwa). Ilmunya bagaikan api berkobar-kobar, bercahaya terang
benderang. Sangat cemerlang di dunia, tetapi tetap tidak nampak nyata dalam
mata lahir, hanya dapat dirasakan sebagai‘ sesuatu yang sangat halus’.
2. Nirantararthatwa mapinda tan
luput. Luput ring angga mwan in anda yan pinet. Pinet maner in hati muksa tan
hilan. Hilahnikamicra mawor nda tan pawor.
Terus menerus ‘Sesuatu Yang Sejati’ tersebut mengalir
(kepadanya). Tetapi bila dicari didalam batin, walaupun tak ketemu Dia tak
hilang. Dia tidak dapat diketemukan, karena walaupun 'menyatu' tetap juga 'tidak
menyatu'.
3. Paworniken atma makeka rin tutur.
Tutur sadakala sunispreheng sarat. Sarat hilah mwan ri hidep maluy malit. Malit
saken litnin acintyaniskala.
Penyatuan Hyang Atma ada di dalam batin. Batin itu
seolah terpisah dari dunia, di dalam batin sangat kecil. Kecil karena kehalusan
yang tak dapat dicapai dengan pikiran dan pancaindra.
4. Kalah tikan sadripu syirna
denira. Niragraha citta wisyuddha nirmala. Malanaput tanpa napel kawes humur.
Humur dumohi wisayanya nityaca.
Telah mampu Sadripu (Enam kegelapan batin)
dihancurkannya, hatinya suci murni. Kotoran yang meliputi tak dapat melekat dan
enyah jauh-jauh serta lenyap untuk selama-lamanya.
5. Salah-kena n lokika mogha tan
tinut. Tinut rin ambeknira tan grahomeneng. Meneng mido lalu wicintya tan
lebur. Lebur nirakara niraksaratmaka.
Ia tak terikat kepada kebaikan dan keburukan, (tapi
terus) batinnya senantiasa aktif memperhatikan segala perubahan dalam kediaman
yang jernih. Diam sediam-diamnya, tetapi tidak lenyap. (Segala perbedaan)
lebur, hilang bentuk, hilang rupa.
6. Makantya tekana ginuhya rin hati.
Atita rin kirya kabeh ya nisphala. Phalanya tan matra kasihhiten manah. Manah
sumimpen ri huwusnya nirnaya.
Segala sesuatu larut tersimpan di dalam batinnya.
Segala tingkah lakunya telah bebas dari karmaphala. Segala buah karma sekesil
apapun lebur di dalam batin, dan batinnya telah stabil tanpa perlu dipaksakan
lagi.
Pupuh XII
1. Ya samankana rakwa lekasira san
uttama diwyayati. Ginelarnira san guru pananumaten kami mudha dahat. Wiphalan
kadi dipa sumeleh atidipta tibeh jaladni. Temahanya padem kakelem i petehih
hati lot wipatha.
Demikianlah tingkah laku orang yang utama yang telah
mencapai badan Dewata. Diuraikan oleh hamba yang sangat dungu dengan izin guru
hamba. Tapi tak ada gunanya, karena seperti api yang bercahaya-cahaya jatuh di
lautan. Akhirnya padam tengelam di kekelaman hati yang selalu menuju
persimpangan jalan.
Pupuh XIII
1. Iwirnii wadhaka syaktinin wisaya
syatru jaladhi sama kirna tar surud. Rwabhyandurbalani swacitta mawetu n
karaketan i temahnya rin sarat. Na hetunkwa n umura karwa lepihan teher akemula
kresna jirnaka. Wetnin tan sipi duhka mandagagunen bapa ri panatagin purakreti.
Kekuatan Wisaya (obyek kenikmatan duniawi) sangatlah
menganggu laksana musuh dan laksana lautan yang tengah pasang. Air pasang itu
menjerumuskan hatiku ke dalam kesulitan, membuat hatiku terpaut kepada
keduniawian. Itulah sebabnya hamba lari membawa kitab ini lalu berselubung kain
hitam yang telah compang-camping, karena tak terhingga kesedihan hamba
disebabkan kurang kepandaian dan ketabahan hati untuk melaksanakan perintah
bapa hamba di dalam istana.
2. Nahan hinanikan palamban
atidurlikita wigati tar wenang linen, Ndan sin syabda riniptaken teka n ujar sarinapini
winorku ring rasa. Bhrantajnyananikin pitanuluyi putra sawuwusika tulya
bhasmaran. Tustenwan yadin asyana n para sadenya syumasyada linampuning hulun.
Inilah akhir Lambang (Perumpamaan) yang tertulis
dengan sangat buruknya dan tak ada gunanya untuk dipercakapkan. Sembarang kata
telah tertulis karena semua ungkapan-ungkapan yang tercatat telah tercampur
perasaan, yang timbul dari kesedihan. Bapa kemudian memberi penerangan dengan
kasihnya. Hamba akan tetap bergembira walau ditertawakan orang, biar pun dicela
hamaba akan menerima
3. Tekwan tan wihikan gatinku ri
rusit-rusitin akawi punya kirtiman. Nhih sinwinutusin yayah medarena
katiwasanira nitya kasymala. Hetunkwanis anuksma mogha maparab wedi katenera
cihnanin hulun. Eran ngwan sthitihen pradega juga tan maluya wekasanin
nirarthaka.
Lagi pula hamba memang tidak tahu akan segala
seluk-beluk membuat syair seperti para ahli (Pujangga). Tapi hamba diperintah
dengan keras oleh bapa untuk menguraikan kegagalan-kegagalan orang yang selalu
berdosa. Oleh karena itu hamba pergi ketempat yang sunyi dan mempergunakan nama
samaran, takut akan ketahuan nama hamba yang benar. Hamba malu dan akan tetap
tinggal di desa dan tak akan kembali sampai akhir hidupku.
Iti nirarthaprakreta samapta telas rincanan dening
puputut tan wrin deya.
Ung Ang Saraswatyai Namah. Siddhir astu. Sampurna pwa
yeng kancana. Durgha Dewi tan len ika sthananya ring Padmambara.
Selesai sudah nirarthaprakreta…………………………,
Ung Ang Terpujilah Dewi Saraswati Siddhir astu, semoga sempurna bagai mutiara, Dewi
Durgha tiada lain tahtanya di Padmambara(Durgha : 1, Len : 2, Sthana: 8, Padma : 8 ~ ditulis
oleh Mpu Prapancha, yang bernama asli Dang Acharya Nadendra pada tahun 1288
Saka atau 1366 Masehi. Selesai sesudah menulis Kakawin Nagarakretagama)
Kakawin ini
ditemukan satu paket dengan Kakawin Nagarakretagama yang terkenal itu dengan
Sugataparwa Warnnana pada tahun 1894 di Puri CAKRANEGARA, LOMBOK oleh J.L.A.
Brandes. Ketiganya ~Nagarakretagama, Sugataparwa Warnnana dan Nirartha
Prakretha adalah karya Dang Acharya Nadendra, pejabat Darmmadhyaksa Ring
Kasogatan (Pembesar Agama Buddha) di Majapahit disaat jaman Prabhu Hayam Wuruk
berkuasa dimana Majapahit tengah mencapai puncak kegemilangannya. Dang Acharya
Nadendra mengambil nama samaran Mpu Prapancha. Dan nama ini yang dikenal sampai
sekarang.
Sumber :
Terimakasih, Pupuh ini mengajak kepada kebaikan bersama. Alhamdulillah.
BalasHapusSangat dalam dan tinggi
BalasHapus